Karena beratnya beban di punggungku, aku terdorong jatuh ke depan. Wanita yang bertumpu pada punggungku itu, ikut pula tersungkur. Dia bahkan jatuh menimpaku.
“Kad, apa yang kau lakukan ini?” Aku berusaha menyingkirkan tubuhnya. Aku sendiri merasa tubuhku lemas, ditambah dengan tubuh Kadeila, aku tak bisa bergerak sedikitpun.
“Maaf,” pintanya disela rintihan kesakitan. Dia berguling dan jatuh terbaring ke atas permukaan tanah.
Aku masih tiak bisa bangkit berdiri, masih bertiarap. Hanya bisa menolehkan kepalaku padanya. Kali ini, nyeri akibat cepatnya aliran darahku terasa menusuk ke seluruh tubuh dari dalam. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku, setiap kali ingin bergerak, bagian tubuhku yang bergerak itu akan terasa sakit menggigit. Pasti Ciralku telah mencurahkan segenap tenaganya, pasti pertempuran yang ia hadapi terakhir ini adalah pertempuran besar.
“Kad?” tanyaku ketika melihatnya berlumuran darah. Kadeila terluka? Tidak sempat memperhatikannya, perhatianku tiba-tiba teralih pada sekelebat bayangan orang-orang yang bergerak menjauh di sisi kananku. “Galdantor?”
Kadeila tidak memberikan jawaban. Aku berpaling lagi ke kiri, kembali pada Kadeila. Dia tetap terbaring menatap langit sambil mengatur irama napasnya.
Aku berusaha menyeret tubuhku perlahan mendekati Kadeila walau rasa nyeri masih mengikutiku ketika tubuhku bergerak. Terasa ngilu seperti kesemutan. “Kau masih bisa bertahan, Kad?”
“Aku baik-baik saja.” Setelah napasnya agak teratur, Kadeila merogoh salah satu kantung celana di pinggang kanannya. Botol bening kecil yang berisikan carian kental berwarna merah tua terlihat kemudian. Dia lalu menghabiskan seluruh isi botol itu dengan sekali tegukan.
Aku menduga, minuman yang ia habiskan itu adalah bekal yang telah dipersiapkan Rusteya. Sejauh yang aku lihat hingga saat ini, Kadeila dan Arumi dibekali tiga jenis minuman yang berbeda warna. Kuning, merah muda dan merah tua. Aku tidak tahu apa fungsi ketiga minuman itu.
Jika semua minuman itu telah dipersiapkan, Kadeila dan Arumi tidak perlu aku khawatirkan lagi. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Pasti salah satu minuman itu berguna untuk pengobatan.
Tiba-tiba, aku merasa sebuah hawa kekuatan bergerak mendekat. Seperti Haisha.
“Setan kecilku itu masih berkeliaran di tempat ini,” gumamku sambil memandang ke kanan. Mana dia? mataku mencari-cari.
“Ish memang masih ada di sini. Aku harus menolong Rumi. Dia masih terjepit.” Secara perlahan, Kadeila berusaha bangkit berdiri. Setelah berhasil berdiri, langkah goyahnya kemudian membawanya pada sebuah tumpukan material reruntuhan bangunan tembok. Aku masih belum bisa bangkit dari tengkurapku. Hanya bisa mendongakkan kepala.
Aku tidak melihat tubuh Arumi. Hanya tumpukan reruntuhan saja yang ada. Apakah Arumi terjepit oleh retuntuhan yang besar itu? Apakah Arumi terkubur disana? Ahaha, kasihan sekali. Tapi aku yakin Arumi kuat, dia tidak mungkin bisa celaka semudah itu.
Setelah lama diam mengatur irama napas dan rasa nyeri menggigit tubuhku menghilang, perlahan aku bangkit duduk.
Berdasar keadaan Kadeila yang dipenuhi bercak darah hampir separuh tubuhnya dan Arumi yang terjepit di reruntuhan, aku menduga telah terjadi pertempuran sengit ditempat ini. Tapi, dimana ini?
Aku memandang sekitarku. Kehancuran terlihat disana-sini, semua porak poranda dan hanya terlihat puing-puing yang berserakan. Rerentuhan gedung besar, gedung apa?
Rasanya aku tidak mengenal tempat ini. Aku tidak pernah ke tempat ini. Aku tidak tahu dimana ini sekarang.
“Kalau Ish bersama Galdandor di tempat ini, berarti aku telah menghadapi mereka semua,” simpulku ketika aku menemukan tubuh-tubuh tak bernyawa bergelempangan dimana-mana. “Apa Ish mengumpulkan semua Cirod lainnya hanya untuk melawanku?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cirod dan Cirai 1: Yang Terbuang
FantasyGeinard telah kehilangan ingatannya. Ia tak tahu siapa dirinya dan apa yang pernah ia lakukan selama hidupnya. Ketika ia berusaha menemukan jati dirinya, ketika ia berusaha mengungkap peristiwa masa lalunya, Geinard menemukan kenyataan bahwa orang-o...