Pelarianku dari penjara Markas Utama Cirai diketahui oleh Kadeila. Demi meloloskanku, Jwerhan terpaksa mengajak Kadeila ikut serta bersamanya menemui seseorang yang menungguku di sebuah kawasana pada Hutan Lindung dimana Akademi Cirai juga berada.
Setelah berlari-lari selama satu jam, kami bertiga tiba pada tempat yang dijanjikan untuk bertemu.
“Kau?” aku terpana dengan apa yang aku lihat.
“Set-Set-Setan?!” Kadeila terkejut bukan kepalang.
Perempuan yang berdiri menantikan kedatangan kami, memandang tajam pada Kadeila. Dia tak lain dan tak bukan adalah Haisha. Walau jelas tampak dimataku dia memang seperti Haisha, tapi aku meragukan kalau dia Haisha.
Apa dia memang benar Haisha? Dia masih hidup? Atau memang sudah jadi setan seperti yang selalu dia ucapkan sendiri?
“Kenapa dia bisa ikut bersamamu?” Haisha melotot pada Jwerhan setelah menemukan Kadeila datang bersamaku.
Jwerhan angkat bahu sembari mengembangkan kedua tangannya. Seolah berkata, beginilah kenyataannya. Mau bagaimana lagi?
“Kenapa kau bisa hidup?” aku justru bertanya pada Haisha. Kadeila masih diam terpana memandang tubuh wanita yang lebih pendek darinya itu.
Karena pertanyaanku itu, Haisha mengalihkan pandangannya dari Jwerhan kepadaku. Haisha sama sekali tak mempedulikan Kadeila.
“Gein?" ketika menatapku, ada sorot yang berbeda dari matanya. Seperti kelembutan dan kemanjaan. Tapi kemudian berubah, "Siapa yang bilang aku mati?!” Dari suaranya yang terdengar berat, aku yakin, itu memang suaranya Haisha.
“Kau sudah dikubur, semua orang tahu kalau kau sudah mati! Aku melihat jenazahmu dikuburkan dengan mata kepalaku sendiri!” tegasku.
“Aku memang dikubur, tapi aku belum mati!” tegas Haisha.
“Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengamu?” tanyaku ingin tahu.
“Aku tidak peduli apa yang terjadi padamu! Kenapa kau tidak mati saja sekalian?” Kadeila marah.
“Jadi kau senang kalau aku sudah mati?” Haisha segera menantang Kadeila.
“Senang sekali,” Kadeila mencibir.
“Dan sekarang kau kecewa karena aku sebenarnya tidak mati?” Haisha menebak lagi.
“Persetan denganmu!” Kadeila memaki.
“Aku memang setan, kau adalah wanita cengeng yang sinting. Dan.. kau,” Haisha ganti memandangku dengan wajah tergelitik tawa. ”Kau menangisiku, hahahaha,” dia kini menetawakanku.
“Aku tidak menangisimu,” aku membantah.
“Ahahaha, kau tidak bisa berbohong padaku. Kau bilang kau cinta padaku, lalu kau menangis di hadapanku. Kau masih ingin mengelak?” Haisha yakin dengan apa yang kulakukan pada acara pemakamannya.
“Aku tidak menangis!” tegasku.
“Aku melihat semuanya pada rekaman proses pemakamanku! Aku tahu siapa-siapa saja yang datang. Bahkan aku tahu, aaah, kau nakal padaku,” tuduh Haisha.
“Nakal?” Aku tak mengerti.
“Kau memegangi dadaku. Aku tak menyangka kau masih saja nakal pada orang yang sudah mati.”
“Aku tidak memegang dadamu!” Kali ini aku sungguh-sungguh membantahnya.
“Aku melihatnya! Kau meletakkan tanganmu didadaku!”
“Aku memelukmu! Bukan memegangi dadamu! Setan kau, Ish,” aku kesal atas sikap Haisha ini.
“Dia memang setan,” Kadeila menambahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cirod dan Cirai 1: Yang Terbuang
FantasíaGeinard telah kehilangan ingatannya. Ia tak tahu siapa dirinya dan apa yang pernah ia lakukan selama hidupnya. Ketika ia berusaha menemukan jati dirinya, ketika ia berusaha mengungkap peristiwa masa lalunya, Geinard menemukan kenyataan bahwa orang-o...