"Maaf tante, saya mau melihat ke adaan Pevita dulu." Ali mengalihkan pembicaraan.
Kemudian Ali membuka pintu kamar perawatan Pevita, Ali menatap Pevita dengan penuh pertanyaan. Kenapa Pevita bisa seperti ini, padahal beberapa hari yang lalu Pevita tampak baik-baik saja? Dan tidak kelihatan seperti orang sakit? Kenapa pula dia begitu mencintaiku? Padahal aku sudah begitu menyakitinya?
"Hai"
Pevita yang mengenali suara itu segera menolehkan kepalanya, ia berusaha memfokuskan pandangannya. "Ali?" Pevita tampak terkejut.
"Kenapa kau tidak mengatakan kepadaku, kalau kamu sakit."
"Untuk apa aku mememberitahukan ini padamu, toh kau tidak akan peduli lagi padaku." Pevita memalingkan wajahnya, mencoba menutupi kepedihan yang sangat amat ia tutupi.
Ali duduk dikursi tepat di samping Pevita, hati Ali begitu tak tega melihat Pevita yang seperti ini. Yang dulu selalu bahagia, tapi sekarang berubah 180° akibat ditinggal olehnya. "Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Sungguh."
"Aku sudah berkali-kali mendengar kata-kata itu, tapi aku tidak bisa menerimanya. Begitu cepatkah kamu melupakan kisah kita?" Suara Pevita tertelah oleh isak tangisnya.
Ali sangat tidak tega melihat seorang gadis menangis dihadapannya, apa lagi Pevita. Gadis yang pernah ada dihatinya, tapi sekarang ia terhapuskan oleh waktu. Ali sungguh tidak bisa bersama Pevita lagi, ia kini hanya mencintai Prilly, walau cintanya belum terbalaskan. Tetapi mengapa tidak ada yang bisa mengerti dirinya, kenapa semua orang tak ada yang percaya dengannya?
Ali menarik nafas panjang "Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
"Hanya satu yang aku inginkan dalam hidupku, jangan pernah kembali pada perempuan itu."
Ali seketika membeku mendengar perkataan Pevita, kini ia dilema.
***
Kini Prilly duduk di Cafe biasa, dia begitu gelisah. Sudah dua minggu Ali tak kunjung datang menemuinya. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Prilly baru menyadari kalau dia merindukan kehadiran Ali, dari kedekatan dan pertemuan mereka setiap harinya menyisahkan kesan tersendiri bagi Prilly. Namun, dia selalu menolak jika dia perlahan mulai menyimpan perasaan pada Ali, entah itu sebagai sahabat atau bahkan lebih.
Sesekali Prilly mencoba menghubungi Ali, namun Ali tidak pernah menjawab telphone darinya. Apa dia marah? Tapi kenapa? Pertanyaan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
Prilly mengirimkan sebuah pesan pada Ali. Sudah satu jam tapi tak ada balasan sedikit pun. Karena sudah lelah dan Cafe juga akan segera ditutup akhirnya Prilly memilih pulang.
***
"Dari perempuan itu lagi?" Pevita melirik sinis ke arah handphone Ali. "Kalau kamu ingin menemuinya, temui saja dan biarkan aku mati."
"Kau bicara apa? Aku tidak mungkin meninggalkan mu dengan kondisi lemah seperti ini." Ali mematikan layar ponselnya, ia sama sekali tak membalas sms atau bahkan menelphone balik Prilly. Ali malah meraih jemari Pevita dan menggengam nya.
"Kenapa? Kenapa Li? Kamu pergi saja menemui perempuan itu lagi? Dan biarkan aku mati, mungkin kamu akan puas."
Ali memeluk Pevita dengan penuh kehangatan, biar bagaimana pun ia banyak berhutang pada Pevita yang selama ini selalu merawatnya saat ia sakit. Terlebih lagi saat ia mengalami kebutaan, hanya Pevita lah saat itu yang mampu menjadi cahayanya. "Kau jangan pernah berkata seperti itu lagi. Ku mohon."
"Aku merasa tubuhmu ada disini, tapi hati dan jiwamu berada disana." Batin Pevita. Ia merasakan kehangata pada Ali. Namun, kehangatan itu berbeda dengan ya g dulu, kini seperti ada yang membuatnya tertekan.
"Aku akan mendampingimu sampai kau sembuh, aku janji." Ali tersenyum lebar, walau hatinya terasa tak mampu berada disini lagi, ia merasa ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini dan menemui Prilly.
***
Di balkon rumah sakit Ali menatap bintang malam dan teringat sesuatu.
#Flashback
Beberapa hari yang lalu Ali tidak sengaja lewat di depan Cafe Regenboog, ia melihat Prilly yang tengah melamun menatap layar ponselnya. Sesekali Ali melangkah ingin menghampiri Prilly, namun langkah nya terlalu berat. Ia tidak mungkin menemui Prilly saat itu. Mungkin Prilly akan marah karena saat Ali meninggalkan nya ia tak memberitahukan nya pada Prilly.
"Aku merindukanmu Prilly? Apa kamu juga merasa hal sepertiku? Ku rasa tidak akan, kau hanya menganggapku sahabat dan tidak akan pernah lebih dari itu." Perlahan Ali mulai meninggalkan tempat itu dan masuk ke dalam mobil dan segera melajukan nya.
Prilly yang merasa kehadiran Ali ia langsung berlari keluar dan sudah tak ada siapa-siapa. "Mana mungkin Ali ada disini, kalaupun ada dia pasti menemuiku. Itu hanya perasaan ku saja."
Off
"Dia pasti lagi memikirkan perempuan itu?" Cairan bening mulai membasahi pipinya, ia sudah mencoba menahan agar air matanya tidak mengalir, tapi dia benar-benar tidak bisa.
Wah makin ke sini makin tambah penasaran nih!
Yuk deh di Vote... Vote... Vote biar aku makin semangat ngetik nya.
Love u❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi dari Hatiku
RomanceDunia seperti mempermainkan ku, mempermainkan kesedihan, dan mempermainkan cinta dalam hidupku. *** Di saat sebuah kenyataan pahit yang tak di inginkan terungkap!!! *** Yuk baca cerita Pergi Dari Hatiku, jangan lupa vote and add your library. Oke ok...