Karena menyadari Ali akan kembali, ia langsung mengusap air matanya, seolah tidak menangis.
"Ali? Kamu ngapain dibalkon malam-malam gini?"
"Tadi aku lagi nyari udara segar." Ali menatap lurus-lurus Pevita. "Kamu abis nangis? Kenapa?"
"Gak apa-apa kok, tadi hanya kelilipan saja."
"Ya sudah, sekarang kamu tidur ya." Ali menyelimuti Pevita dan mengenggam tangannya agar ia bisa tidur.
***
Disisi lain, Prilly melamun sambil menatap langit malam dibalkon kamarnya. Otaknya dipenuhi dengan kerinduannya pada Ali, yaps kali ini Prilly sudah sangat mengakui kalau dirinya benar-benar merindukan Ali.
"Kau dimana? Aku merindukanmu, sungguh. Kali ini aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku merindukanmu." Prilly meneteskan air matanya, menatap langit yang gelap. Segelap hatinya saat ini, hatinya gelap tanpa Varel dan kini di tambah lagi tanpa Ali.
"Menangislah Pril, keluarkan semua kesedihanmu. Agar kau merasa lebih baik. Aku tau kau sekarang lagi merindukannya bukan?" Gritte memegang pundak Prilly, Prilly yang merasa kaget akan kehadiran gritte ia langsung menolehkan kepalanya.
Prilly menghapus air matanya. "Aku gak tau kenapa dia tidak mengangkat telphone dariku, bahkan dia tidak membalas sms dariku. Sekarang aku cemas memikirkan nya, aku takut dia kenapa-napa."
"Apa kau sudah jatuh cinta padanya?" Pertanyaan itu sontak membuat Prilly melototkan matanya.
"Jatuh cinta? Apa mungkin aku jatuh cinta pada Ali?"
Gritte menggeleng perlahan seolah mengatakan ia. "Terlihat jelas dari matamu."
***
Keesokan harinya, Ali membereskan barang-barang nya.
"Pev, aku minta maaf ya. Aku mau pergi melanjutkan kuliahku. Ku fikir kau sudah baikan, dan kata dokter juga begitu." Ali duduk disamping Pevita.
Wajah Pevita berubah menjadi kesedihan, baru saja ia merasakan apa yang sudah lama ia inginkan. Namun, kini Ali akan pergi meninggalkan nya. "Aku tau, kau ingin menemuinya lagi kan? Kuliah hanyalah alasanmu saja kan?"
"Tolong kau mengerti aku kali ini."
"Ngertiin kauu? Aku sudah sering ngertiin kamu, sampai-sampai aku merelakanmu pergi dan membatalkan pernikahan kita hanya karena mata Varel dan perempuan itu." Tanpa sadar cairan bening mulai mengalir dipipinya. "Kali ini aku tidak akan bisa mengeri kamu. Sudah cukup Li."
"Ku mohon. Aku tidak bisa disini terus. Selamat tinggal."
Pevita berusaha turun dari ranjangnya, dengan susah payah. "Tidak! Tidak! Jangan tinggalkan aku Li! Ali! Ali! Aliiiiiiiii" hingga akhirnya ia mencabut infusnya dan terjatuh ke lantai, sedikitpun Ali tidak menoleh, ia mengabaikan teriakan-teriakan Pevita.
"Maafkan aku Pev." Batin Ali.
"Liat saja aku akan merebutmu lagi. Apapun caranya, aku tidak akan menyerah." Pevita mengusap air matanya.
***
Hari ini kuliah Ali selesai lebih awal, ia baru ingat kalau ternyata Prilly pernah bercerita tentang tempat kuliahnya, dan tidak jauh dari tempatnya kuliah, sekitar 4 kilometer.
Hari ini hujan turun begitu deras, Prilly menunggu seorang diri didepan kampusnya. Prilly berdiri gemetaran, rambut dan pakaiannya basah kuyup. Ini salahnya kenapa dia lupa membawa payung dan menolak diantar pulang oleh Gritte. Malah tidak ada satupun angkutan yang berlalu-lalang, sering sekali seperti ini, setiap hujan deras tidak ada satupun yang berlalu lalang.
"Tidak ada cara lain, aku harus menerobos hujan deras ini, sepertinya hujan akan berlangsung hingga malam." Akhirnya Prilly berusaha menerobos hujan deras, titik demi titik air hujan menerpa kepalanya. Belum jauh dari kampus Prilly sudah tidak sanggup lagi, tapi biar bagaimanapun ia harus tetap berusaha. Beberapa menit kemudian disekelilingnya mulai berputar, ia mencoba menahan keseimbangannya jika tidak ia akan terjatuh. Namun, kini Prilly sudah tidak sanggup lagi. Tetesan air hujan itu malah membuat kepalanya bertambah sakit.
Dan pada akhirnya ia jatuh berlutut di tengah jalan. "Aku harus kuat." Kemudian ia berusaha berdiri kembali, namun ia terjatuh, dan ditangkap oleh seorang lelaki. Mata mereka saling bertatap-tatapan dan senyum lelaki itu mengembang.
"Ali? I-ini kau?" Lali mereka melepaskan pelukannya.
Ali menggelengkan kepalanya. "Ia ini aku, aku merindukanmu, sangat-sangat merindukanmu." Ali mengelus dengan lembut pipi Prilly dengan kedua tangannya.
"Aku juga merindukanmu, sangat." Perasaannya kini meluap-luap, rasa rindunya terobati akan kehadiran Ali disampingnya. Ia baru sadar, ia tidak bisa jauh dari Ali. Sedetik kemudian Prilly tidak sadarkan diri, pinsang.
"Prilly... Pril! Bagun Pril, kau kenapa???" Ali menepuk dengan pelan pipi Prilly, namun Prilly tidak sadarkan diri. Akhirnya Ali memutuskan untuk membawa Prilly ke mobilnya.
Ali mengambil jaket nya yang berada di jok belakang dan menutupi tubuh Prilly yang sudah basah kuyup. Beberapa menit sudah berlalu, namun Prilly tidak kunjung sadar. Hujanpun sudah redah.
Bagaimana kelanjutan ceritanya? Penasaran?
Yuk vote...vote...vote and add your library😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi dari Hatiku
RomanceDunia seperti mempermainkan ku, mempermainkan kesedihan, dan mempermainkan cinta dalam hidupku. *** Di saat sebuah kenyataan pahit yang tak di inginkan terungkap!!! *** Yuk baca cerita Pergi Dari Hatiku, jangan lupa vote and add your library. Oke ok...