Theater

356 9 5
                                        

Daun dari pohon kelapa di depan rumah Auryn melambai-lambai akibat tiupan angin yang lumayan kencang. Langit diatasnya berwarna kemerahan –mendung. Seolah siap menumpahkan air yang ditampungnya. Sepertinya, malam ini hujannya akan lebat.

Dari dalam kamarnya, Auryn termangu menatap jendela yang gordennya masih tersibak. Ia menyaksikan apa yang dilakukan oleh angin dengan pandangan kosong. Deru angin tak sedikitpun mengusik lamunannya, tak mampu menarik kembali kesadarannya ke bumi. Sama halnya seperti langit, suasana hatinya pun mendung. Ia binggung menentukan pilihan.

Kira-kira tiga puluh menit lamanya ia telah duduk di meja belajarnya. Memandang langit, dan formulir ekstrakulikuler di atas meja secara bergantian, terkadang sambil memainkan pena yang terselip diantara ibu jari dan jari telunjuknya. Ia sudah menuliskan data dirinya di formulir itu, berikut kelas yang ditempatinya sekarang, namun kolom tempat esktrakulikuler yang ingin ia ikuti belum diisi.

Pilihan pertamanya jatuh pada jurnalistik. Menjadi jurnalis sekolah, mengkritisi suatu peristiwa penting, mewawancarai narasumber dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, sebelum akhirnya menulis berita tersebut untuk dibaca khalayak. Yang menarik minat Auryn adalah sesi wawancara dengan narasumber, tentu saja seorang jurnalis berkesempatan untuk bertatap muka dan bicara langsung dengan mereka, terlebih sekolahnya sering kedatangan artis ibu kota di event-event penting tiap tahunnya.

Namun di satu sisi, ia juga menyukai keindahan alam sekitarnya. Ia suka melihat bunga-bunga yang bermekaran, begitu cantik menurutnya. Ia juga suka melihat kejadian kilat seperti kembang api di malam tahun baru, atau petir yang menyambar kala hujan datang. Ia tertarik untuk mengabadikan setiap moment dan keindahan itu. Didukung oleh kamera DSLR nganggur milik papanya membuat Auryn juga ingin memilih fotografi.

Tetapi..

"Rick, kenapa lo nggak ikut modern dance aja? Sayang banget B-boy berbakat kayak lo malah gabung di eskul lain"

"Gue lebih minat ke teater, Jo"

Tentu saja, penuturan Ricky waktu itu ditambah pernyataan dari mayoritas teman-temannya sedikit banyak membuatnya mempertimbangan keputusan untuk bergabung kembali ke eskul teater. Ekstrakulikuler yang diikutinya tahun lalu.

Sayang sekolahnya hanya memperbolehkan setiap murid untuk mengikuti satu ekstrakulikuler, kalau boleh tiga mah udah Auryn embat semuanya.

Pandangan Auryn kembali pada jendela kamarnya. Di luar sana rintik hujan sudah mulai turun, semakin lama semakin deras. Mereka seolah berlomba untuk sampai ke permukaan tanah dan melebur disana. Auryn beranjak dari tempat duduknya dan mendekat ke arah jendela. Cukup lama ia berdiri disana, menatap bulir-bulir bening yang turun sebelum akhirnya menutup gorden jendelanya.

Saat akan kembali ke meja belajarnya, ponselnya yang terletak di atas nakas itu berbunyi. Ada chat LINE yang masuk. Setelah melihat siapa pengirim pesan tersebut, sedikit perasaan kecewa bertandang di hatinya. Cuma chat dari Kevin ternyata.

Kevin Edgardo sent you a picture

Bukan satu, tapi sepuluh. Foto-foto tulisan diatas kertas putih yang tak memiliki nilai seni, dan tidak menarik sama sekali, namun karena penasaran foto-foto tersebut dibuka juga oleh Auryn.

"What?!" Gadis itu memekik tak percaya "Ini bukannya jawaban tugas agama ya?"

Auryn kembali meneliti foto tersebut, kali ini sambil mengucek-ngucek matanya agar ia yakin apa yang ia lihat ini nyata. Dan yang dilihatnya tetap tak berubah.

He must be crazy!

Auryn Nathania: Vin, lo salah kirim ya?

Kevin Edgardo: Nggak

At First Sight [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang