zehn

210 59 53
                                    

"Michael, mau kah kau pergi ke toko boneka Disney di mall bersamaku?" Tanya Amanda menghadap ke arah Michael yang sedang menulis bait lagunya di aula. Michael pun mendongak dan mendapati Amanda sudah berada di depannya.

"Tentu." Jawabnya dengan senyuman manis.

"Kalau begitu, ku tunggu di parkiran." Kata Amanda seraya melenggang pergi. Rencananya bersama Michael sudah tersusun apik dalam otaknya. Ia akan mengajak Michael makan, menonton, dan bermain di TimeZone! Ia yakin Michael pasti senang.

Ia telah tiba di mobilnya. Tak lupa ia mengambil secarik kertas dan pulpen untuk membalas surat Michael kemarin. Ia akan memberinya dengan cara yang sama. Yaitu menyelipkan di pintu mobil. Namun, ia tak tahu harus menulis apa. Senyumannya melengkung sempurna di bibir manisnya ketika mengingat kejadian kemarin. Rasanya seperti ribuan kupu-kupu keluar dari dalam perut. Oh, god.

She suffered a butterfly stomach.

Hingga ia mendengar sesuatu yang membuatnya penasaran setengah mati. Suara yang menurutnya berada tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia melangkahkan kakinya mendekati suara tersebut. Semakin dekat dan jelas. Itu adalah suara pertengkaran. Amanda hanya terkekeh geli membayangkan ada orang yang berkelahi di parkiran. Bodoh memang, ia mengintip lewat pilar di dekat tempat tersebut.

"MICHAEL! KENAPA KAU TAK PERNAH TAHU BAHWA AKU MENCINTAIMU?"

Deg

Hanya beberapa kata sudah ampuh untuk memberhentikan detak jantungnya. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat wanita yang ia kenal dengan Emily mengucapkan kalimat tadi. Kalimat sederhana penuh penekanan yang mampu memaksa seluruh dunia menuruti keinginannya.

Ia melihat gadis itu mulai memeluk Michael. Bola matanya seakan mendesak keluar ketika melihat Michael membalas pelukan gadis itu. Sembari mengusap puncak kepalanya lembut. Sungguh nasib yang malang. Ia mengalami kejadian yang sama. Di tempat yang sama, orang yang sama, adegan yang sama, dan perasaan yang sama.

Namun, kali ini lebih menyakitkan.

***

"Aarghh! Sialan!" Amanda mengumpat sambil membanting stirnya kasar. Ia berada di jalan raya sekarang. Dengan mata berlinang, ia melihat traffic light berubah warna menjadi merah. Tak sengaja ia melihat pantulan wajahnya di kaca spion. Astaga, Ia sudah seperti monster!

"Hanya kau yang dapat membuat hatiku terasa seperti pahatan yang indah. Dan kau juga yang dapat mematahkannya, Mike." Ia menepis kasar air matanya yang terus mengalir. Sebelum traffic light berubah warna lagi, ia dengan sigap menghapus jejak air matanya dan mengaplikasikan conceler agar tidak terlihat seperti sehabis menangis. Palsu memang, tapi bukankah itu hal terbaik yang dapat dilakukan wanita?

Ia mengaca pada spionnya. Entah mengapa perasaannya tak enak. Ia merasa seperti sedang diawasi. Dan benar saja, layar ponselnya menyala dan memperlihatkan seseorang tengah meneleponnya. Amanda mengerutkan keningnya bingung. Yang meneleponnya adalah unknown number. Dengan perasaan was-was, ia mengangkatnya.

"H-halo?" Ia mengawali percakapannya dengan gugup. Ia terus menanti jawaban dari seseorang di seberang sana. Namun, hasilnya nihil. Ia tidak mendengar apa-apa.

Sebenarnya ia mendengar hembusan nafas memburu dan suara khas pisau yang sedang diasah. Bulu kuduknya berdiri menandakan ia sangat takut sekarang.

"WHO THE HELL ARE YOU?! Are you intend to frighten me?! Sorry, sir. It doesn't work!" Jawab Amanda sarkas. Dia memang pandai berbohong, apalagi lewat sinyal udara seperti ini. Ia takut. Sangat takut.

Lagi-lagi ia tak mendengar jawaban, malah sekarang ia mendengar lolongan hewan tak berdosa menjerit seperti meminta tolong. Ia membulatkan matanya tak percaya. Apakah yang meneleponnya adalah seorang psikopast? HELL!

Prom Night • clifford #Wattys2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang