“Lea, ayok ke kelas!” untuk kesekian kalinya Neva memerintahku untuk kembali ke kelas.
“No, Thanks. Aku di sini aja, Va.” Tolakku untuk yang kesekian kalinya juga dengan halus.
Aku sedang menikmati keberadaanku yang di pinggir lapangan. Menyaksikan pertandingan basket antar kelas yang berlangsung dengan sebuah kamera SLR yang aku kalungkan pada leherku. Yang membuatku semakin betah berada di lapangan karena kelas Kak Candra-lah yang sedang bertanding. Ini adalah lomba untuk mengisi kegiatan tengah semester yang ada di sekolahku.
“Kita mau ngebahas tentang lomba besok, Le.” Ucap Neva dengan nada yang lebih tegas dan tinggi dari sebelumnya.
Aku membidik gambar, kemudian menggelengkan kepalaku jawaban untuk kalimat Neva. “Nanti aku nyusul. Kamu duluan aja.”
“Yauda deh tererah kamu. Aku ke kelas dulu.” Ucap Neva jutek kemudian beranjak dari sampingku.
Sepertinya Neva marah karena aku tak mengindahkan ajakannya untuk kembali ke kelas dan mendiskusikan lomba yang diadakan esok hari. Itulah salah satu hal yang membuatku tak suka dengan kelasku. Merencanakan suatu hal dengan mendadak. Lomba yang akan dilaksanakan besok baru didiskusikan hari ini siapa saja yang akan berpastisipasi dalam lomba tersebut.
Aku kembali membidik gambar menggunakan kamera kesayanganku. Berbagai pose dari Kak Candra berjasil kudapatkan dengan bagus. Aku tersenyum sendiri saat melihat hasil bidikanku. Kamera kembali kudekatkan pada mataku. Sebuah bole terlihat melayang ke arahku. Dengan cepat kuturunkan kamera dari depan mata dan ternyata benar. Bola basket melayang ke arahku.
Aku menutup mataku, tak berani menyaksikan bagaimana bola basket menghantam tubuhku. Dan bugh! Bola basket itu tepat mengenai dadaku dengan tekanan yang cukup besar. Membuatku hilang keseimbangan. Namun aku tak merasakan lantai pada punggungku. Melainkan sebuah tangan yang melingkar pada pinggang dan perutku, seperti menahanku agar tak terjatuh.
Dengan perlahan aku membuka kedua kelopak mataku. Sepasang mata coklat muda menatapku lekat. Kedua kalinya mata indah itu memandangku, namun kali ini lebih lekat dari sebelumnya. Nafasnya tertiup menimpa wajahku, ia seperti terengah-engah dan mengatur nafasnya agar kembali normal. Aku tak percaya dengan keberadaan orang yang ada di hadapanku. Ku kedipkan mataku berkali-kali untuk memastikan aku tak salah lihat. Kak Candra, ialah orang yang saat ini ada di hadapanku. Menolongku dari serangan bola basket yang mampu membuatku tersungkur ke lapangan begitu saja.
Aku segera bangkit dari posisi tubuhku yang sedikit miring—hampir jatuh. Malu karena aku merasa banyak pasangan mata tertuju padaku dan Kak Candra. Yang kedua, malu karena sepertinya Kak Candra terbebani dengan berat badanku.
“Makasih Kak.” Ucapku tulus seraya membenarkan pakaianku.
“Yap. Tapi kamu nggak apa kan dek?” tanya Kak Candra seraya mengecek bahu kiriku yang telah terhantam oleh bola basket.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Fiksi PenggemarTak ada yang tau bagaimana kehidupan membawaku pada kata hidup seperti yang selama ini aku impikan. Aku juga tak pernah menyangka, pertemuanku denganmu akan membawa sebuah perubahan yang berarti dalam hidupku. Kau berarti untukku. Kalimat itu begitu...