Chapter 7

6.2K 315 0
                                    

Lea’s POV

Seorang lelaki tampan dengan kacamata bertenger di telinganya memasuki kelasku dengan santainya dan tanpa malu saat guru biologi baru saja menutup pintu kelasku. Aku tersenyum geli melihatnya. Tingkah yang sangat lucu untuk dilihat dari sosok lelaki yang terkenal dengan kesombongannya itu. Lelaki itu memberi salam kepada Bu Titik—guru biologiku—dengan senyuman yang manis.

Sepertinya Bu Titik mengenali Kak Candra—lelaki tampan tadi. Mereka mengobrol dengan akrabnya. Sesekali Kak Candra mampu membuat Bu Titik yang terkenal killer saat mengajar itu tersenyum bahkan tertawa walaupun hanya tawa kecil karena Kak Candra. How magic is it?

“Hai Lea!” Sapa Kak Candra dengan sangat antusiasnya. Membuat siswa yang ada di dalam kelas mengalihkan perhatiannya kepada Kak Candra yang telah ada di hadapanku.

Aku sedikit melotot ke arah Kak Candra, mengisyaratkan bahwa aku sedikit tak suka dengan apa yang baru saja ia lakukan. But he seem doesn’t care bout that. Jadi aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang yang susah. Menyadari tingkah kekasihku yang terlihat seperti anak sekolah dasar. Ya, kekasihku.

“Siap untuk pulang tuan putri?” tanya Kak Candra dengan nada yang dibuat-buat. Membuatku ingin sekali tertawa sekeras-kerasnya. Namun yang bisa aku lakukan hanyalah tersipu malu.

“Siap pangeranku.” Jawabku dengan menahan senyum dan maluku kepada Kak Candra.

Ia menampakan senyum puasnya setelah mendengar jawaban dariku. Ia juga mengacak poniku dengan gemasnya beberapa saat setelah aku selesai merapikan mejaku. Dan gantlenya, Kak Candra mengangkatkan kursi ke atas meja—tradisi di sekolahku yang baru saja ditetapkan, jika pulang kursi harus diletakkan di atas meja.

“Tante Selvi beneran uda di rumah kan Kak?” tanyaku memastikan saat aku dan Kak Candra berjalan menuju tempat parkir.

Kak Candra terlihat menimbang-nimbang jawaban yang ingin ia sampaikan kepadaku. Padahal tinggal menjawab iya atau tidak. Aku juga tak perlu alasan jika Kak Candra tak ingin mengatakannya. Ia juga memainkan ponselnya dengan fokus, seperti tak mendengarkan apa yang aku tanyakan kepadanya.

“Kalo tante Selvi nggak ada di rumah nggak apa. Aku bisa minta jemput supir Papa, trus Kak Cand...”

“Ya ampun,” Kak Candra menggenggam tanganku, menahannya agar tak bergerak—well menahan tubuhku juga untuk tak bergerak. Kemudian satu tangannya teralihkan untuk memegang pundakku, memaksa tubuhku dengan halus agar menghadap ke arahnya.

 “Ini aku lagi mastiin kalo Mama lagi di rumah, makanya aku sibuk sama hp aku, sayang.” Ucap Kak Candra akhirnya. “Lagian kalo Mama nggak di rumah, aku juga nggak bakal ngebiarin pulang gitu aja sama supir kamu. Aku yang nganterin kamu pulang sampe rumah.”

Aku tersenyum, aku memang sedikit egois dalam hubungan ini. Menganggap aku harus diperlakukan baik olehnya saat aku sedang dalam keadaan unmood yang bahkan sama sekali tak memerhatikan Kak Candra.  Dan ia selalu mengalah untukku.

“Its fine if you have another things to do, first.  Aku bakal nunggu Kak Candra.” Tolakku lagi, mencoba tak ingin mengusik kegiatan Kak Candra yang memang sangat padat.

Kak Candra tersenyum kepadaku. Mengumbar segala keindahan yang selalu aku puja darinya dan selalu ingin aku lihat dari dekta maupun kejauhan.

“Satu hal yang pengen aku lakuin adalah pulang ke rumahku bersama kamu, karena mama uda ada di rumah.”

***

Jantungku bertedak lebih kencang dari sebelumnya. Berdiri menunggu Kak Candra memarkirkan motonya di halaman rumahnya membuatku semakin tak karuan. Membayangkan bagaimana reaksi Mama kak Candra tentangku nantinya. I never feel this before.

“Ketuk aja, sayang. Mama ada di rumah kok.” Perintah Kak Candra yang berjalan ke arahku yang telaah berada di depan pintu rumahnya.

“Gakmau, takut.” Jawabku dengan sedikit manja kepada Kak Candra.

Ia mengacak poniku. “Gitu aja gak berani.” Ejeknya.

Aku diam. Tak mengerti harus apa. Aku memang orang yang tak pemberani, dan itu menjadi ejekan yang Kak Candra lontarkan kepadaku setiap kali aku tak bisa melakukan sestau tanpanya. I got that. And I never mad him, cause he’s right.

Kak Candra hendak mengetuk pintu rumahnya. Namun terlambat. Seseorang telah membuka pintu dengan menampakkan wanita paruh baya yang masih cantik dan mempunyai wajah yang tak jauh berbeda dari Kak Candra. I bet she’s his mom.

“Tadi Mama denger ada suara ribut, Mama kirain apa. Eh ternyata kalian uda ada di sini.” Ucap Tante Selvi dnegan ramahnya.

Aku hanya menanggapinya dengan senyuman maluku karerena tak tau harus bagaimana lagi. Sedangkan Kak Candra mencium tangan Mamanya. Aku tersenyum sekali lagi menyaksikan adegan seorang ibu yang menyambut kedatangan anaknya dari sekolah.

 Tante Selvi menjulurkan tangannya ke arahku, menyuruhku untuk menyalaminya ku rasa. Dan aku melakukannya. Aku menyalaminya kemudian, menciumnya. Aku menghormatinya sebagai orang yang lebih tua dariku. Tak ku sangka Tante Selvi akan mengelus rambutku saat aku mencium tangannya.

“Mama siapin makan siang dulu buat kalian. Ajakin Lea ke ruang tamu, sana Can.” Perintah Tante Selvi.

“Tante, nggak usah repot-repot nyiapin makan siang. Aku nanti bisa makan di rumah kok tan.” Tolakku dengan alasan yang aneh sebanrnya.

“Nggak, apa. Kasian kan kesini pas pulang sekolah nggak tante kasih makan. Pasti laper kan.”

“Uda Lea, nggak apa. Masakan Mama nggak kalah enak kok sama masakan Mama kamu.”

Aku mendengus kesal kepada Kak Candraa setelah tante Selvi meninggalkan kami dengan tawa kecil di bibirnya. Bukan maksudku menolak ajakan makan siang tante Selvi karena ragu jika masakannya akan tak enak. Tapi aku tak enak jika merepotkan Tante Selvi dihari pertama aku bertamu di rumahnya.

“Kak Candra tadi kok ngomongnya gitu sih? Kan aku jadi gak enak sama Tante Selvi.” Keluhku kepada Kak Candra saat kami telah berada di ruang tamu milik keluarga Kak Candra.

“Biarin aja. Lagian kamu sih, pake nolak ajakan Mama. Jarang lho Mama ada di rumah dan masakin buat tamu yang aku bawa.” Ucap Kak Candra.

Am I that spesial? Aku tersipu malu mendengarnya.

“Gak usah blushing di sini.” Ejek Kak Candra dengan melemparkan sembarangan tas sekolahnya oada sofa.

Ku keluarkan novel yang tadi aku bawa ke sekolah dari tas. Mencoba menyibukkan diri dengan apa saja yang bisa aku lakukan. well, aku harap aku tak terlihat canggung di depan Kak Candra.

“Gitu ya, sibuk baca novel.” Celetuk Kak Candra saat baru saja hendak aku buka halaman pertama dari novel.

Sebuah giggles aku keluarkan untuk menjawab pertanyaan Kak Candra. I have no words to say. Ini memang kebiasaan burukku. Membaca novel dan mengabaikan orang yang ada di sekitarku untuk mendalami cerita yang ada dalam novel tersebut.

“Jadi, ini rumahku.” Ucapnya dengan awkward dan memposisikan tubuhnya untuk duduk di sampingku.

Aku tersenyum, “Aku udah tau, Kak.” Jawabku tanpa nada ‘bercanda’ di dalamnya namun berhasil membuat Kak Candra tertawa.

Apa yang lucu?

Kak Candra mengambil beberapa toples makanan ringan yang diletakkan di rak yang ada di bawag meja. Aku hanya bisa diam menyaksikan Kak Candra dengan aktifitasnya. Kulirik Kak Candra sekali lagi sebelum akhirnya aku kembali lagi ke dunia keduaku—novel.

Ia sedang menikmati kue kering yang ada di dalam toples, dengan toples yang lain berjajar di atas meja. Dengan lahap Kak Candra memakan kue kering tersebut. Aku rasa ia sedang lapar?

“Pesawat akan mendarat....” kudengar Kak Candra dengan suara yang ia buat-buat.

Ku dongakkan kepalaku kepada Kak Candra, ia sedang memperlakukan kue kering layaknya pesawat mainan, dan diarahkan kepadaku.

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang