Chapter 3

7.1K 383 1
                                    

Candra’s POV  

Aku sama sekali tak mengerti mengapa Azalea mendadak cuek kepadaku. Aku tak pernah menyangka ia akan dingin kepadaku. Cara bicaranya pun seperti orang yang enggan untuk berbicara denganku. Aku sama sekali tak mengerti.

Memang aku tak mengerti betul siapa dan bagaimana sifat Azalea, adik kelasku. Namun, Azalea mempunyai daya tarik tersendiri yang mampu membuatku ingin tau tentangnya lebih lanjut.

Ya sejak pertama kali aku bertemu dengannya saat akan mempromosikan PASUS (pasukan khusus upacara) di kelasnya, aku melihat ia sedang tertawa lepas bersama temannya yang lain dan satu temannya terlihat sedang menceritakan sesuatu sehingga Azalea dan yang lainnya tertawa. Tawanya sungguh indah.

Saat  ia berhenti tertawa, ingin sekali aku menyuruhnya untuk kembali tertawa. Tawanya menjadi drug tersendiri bagiku yang mampu  membuatku kecanduan, dan ingin melihatnya lagi dan lagi.

Saat ini aku berjalan menuju kelas Nina. Gadis cantik di sekolah yang menjadi incaran banyak lelaki di sekolah maupun luar sekolah. Aku mempunyai urusan besar dengannya. Ya urusan yang harus segera aku selesai. Jika tidak, urusan ini akan menjadi masalah yang besar.

“Nin?” panggilku kepada Nina yang sedang duduk di sebuah kursi panjang yang ada di depan kelas  dengan seorang cowok.

“Eh?” Nina mendongakkan kepalanya ke arah wajahku yang posisinya lebih tinggi dari waajahnya. “Candra?” gumam Nina seperti tak percaya dengan keberadaanku di depannya.

Aku tertawa hambar melihat tingkah Nina yang kalap aku pergoki sedang berduaan dengan lelaki lain. Aku melihat Nina dan cowok di sampingnya secara bergantian. Tenyata masih sama perilaku Nina. Tak pernah berubah. Sepertinya Nina mengerti maksud tatapan kepadanya yang bergantian dengan menatap Faiz—cowok yang duduk di sampingnya. Kemudian Nina dengan cepat berdiri.

“Aku mau bicara sama kamu.” Ucapku seraya melirik Faiz yang masih duduk di kursi panjang yang ada di hadapanku.

“Cuma berdua.” Tekanku.

Membuat Nina menolehkan kepalanya. Sepertinya Nina menyuruh Faiz untuk pergi. Karena setelah itu Faiz meninggalkan kami berdua.

Aku menghela nafas panjang. Mengingat kalimat yang telah aku rancang sebelumnya untuk dikatakan kepada Nina saat ini.

“Kita putus.” Ucapku dengan nada tegas seraya menatap ke dalam mata Nina.

Matanya terlihat ingin keluar dari tempatnya setelah aku mebgakhiri ucapanku.

“No way Can!” bantahnya dengan keras.

Aku melihat sekeliling. Banyak siswa yang menatap kami karena teriakan Nina yang begitu keras. Aku tak menyalakan orang yang melihat kami, ini salah Nina.

“Kita tak bisa melanjutkan hubungan kita. Kita tak sudah tak ada kecocokan lagi, Nin. Aku tau kau menginginkan Faiz kan? Jadi, aku tak mau kau terus menyandang status sebagai pacarku jika kau menginkan menyandang status sebagai pacar Faiz.”

“Tidak, Can. Aku masih mencintaimu. Sungguh.”

Aku tertawa hambar. Bisa sekali Nina berakting di depanku saat seperti ini.

“Bahkan sekarang aku tak lagi bisa mempercayaimu Nin. We should, really we should broke up. Aku tak apa kau selingkuh di belakangku. Aku sudah mengetahui kau selalu berduan dengan Faiz. But i dont tell you cause i dont want to. Aku hanya bisa memandangi pacarku bermesraan dengan lelaki lain dari jauh. Bahkan lelaki itu adalah temanku, teman dekatku. Miris rasanya.”

“Can...”

“Aku tak bisa melanjutkan ini.” Aku tau Nina ingin mengelak kepadaku. Oleh karena itu aku menyela ucapannya. “Apapun yang akan kau katakan, tak akan merubah keputusanku Nin. Kita putus. Makasih uda ngebuat aku ngerasain gimana rasanya jadi pacar seorang cewek yang dikagumi cowok satu sekolahan. Makasih uda ngasih aku kenangan manis selama kita bersama. Makasih buat kenangan pahit yang lebih banyak aku rasakan saat kita bersama. Makasih buat semuanya. Bye nin.”

Aku meninggalkan Nina yang masih terpaku di tempatnya. Aku tak ingin lagi berurusan dengan Nina lagi. Aku mempunyai perasaan jika Nina tak mau putus dariku karena banyak temannya yang juga menyukaiku. Karena, ia selalu memamerkan kemesraan diantara kami berdua kepada temannya. Aku tak suka itu.

Aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang untuk pulang ke rumah. Pikiranku sedikit lega karena aku telah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sedari dulu.

Namun masih ada satu hal yang belum aku lakukan. Dan aku merencanakan untuk melakukannya besok. Semoga berhasil.

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang