Aneh.

1.1K 69 5
                                    

Ainun POV

Kringg...

Bel pertanda pelajaran hari ini telah berakhir berbunyi dengan nyaring. Aku melihat teman sekelas ku bersorak kegirangan karna akhirnya, kisah perjalanan hidup guru sejarah yang sedang mengajar di kelasku turut berakhir juga.

Aku memasukkan seluruh barang-barangku yang berserakan di atas meja ke dalam tas. Kelas sudah terlihat sepi.

Aku segera berjalan ke luar kelas. Saat ingin berjalan ke arah gerbang, ada seseorang yang menahan pergelangan tanganku.

"Lo pulang bareng gue." ujar Rein dingin.

"Hah? Lo? Ngajak gue? Pulang bareng? Nggak salah denger gue?" Tanyaku sambil memandang heran ke arah Rein.

Dia kenapa ya?

Salah minum obat?

"Ikut gue aja susah amat!" ketusnya. Lalu setelah itu dia segera menarik pergelangan tanganku.

Ingat, pergelangan tangan. Bukan tangan. Sedih emang.

"Nggak! Gue nggak mau pulang sama lo! Gue mau pulang sama Rara!" ucapku kesal sambil berusaha melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku.

Tapi bukannya melepaskan, dia malah mempererat cengkramannya hingga aku sedikit meringis.

"Tinggal ikut gue pulang doang apa susahnya sih! Lagian ini tuh Rara yang suruh! Kalau bukan Rara yang suruh mana mau gue nganter lo pulang!" bentak Rein.

"Sakitt... Rein.." ujatku setengah meringis. Setelah itu Rein segera melepaskan cengkramannya. Mungkin dia baru sadar sedari tadi mencengkram pergelangan tanganku dengan kekuatan yang berlebihan.

Sedangkan aku hanya memandang nanar ke pergelangan tanganku yang memerah.

"Sorry. Ikut gue sekarang" ujarnya tetap ketus.

Sebenarnya dia ini niat antar aku pulang nggak sih? Bodo amat lah.

Aku segera mengekor di belakang Rein. Kami berjalan menuju ke arah parkiran Motor. Rein segera menaiki motor ninjanya yang berwarna dark blue itu.

Sedangkan aku? Aku hanya terdiam di tempatku tanpa bergerak sedikitpun.

Jujur saja, aku paling takut yang namanya naik motor. Selama 16 tahun aku hidup, bisa di hitung dengan jari berapa kali aku naik motor.

Terakhir kali aku naik motor, aku malah jatuh terjerembab ke belakang karna posisi dudukku yang belum siap.

Dan hal itu cukup untuk membuatku mendekam di rumah sakit selama 2 minggu lamanya.

"Sampe kapan lo mau ngelamun di situ?!" perkataan Rein membuat ku tersentak kaget. Tenyata dari tadi aku melamun toh.

Tanpa banya bicara lagi aku segera naik ke motor Rein dan sesegera mungkin memeluk pinggangnya dengan erat.

Bukan modus kok.

Kan sudah ku bilang kalau aku sangat takut menaiki motor.

"Ehh?! Apa-apaan nih?! Lepas-lepas! Nggak ada peluk-peluk!" bentaknya sambil melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya. Dengan sangat terpaksa akhirnya aku melepaskannya.

Rein melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku sudah pucat sambil mencengkram erat pinggiran sadel motor Rein.

"Rein.. Pelan.. Pelan.." ujarku terbata-bata. Suaraku lirih, untung saja Rein mendengarnya.

Aku dapat melihat dia menoleh ke spion dan tersentak kaget karna melihat mukaku yang pucat pasi. Dia segera memelankan laju motornya.

Tak berselang lama setelah itu kami sudah sampai di rumahku. Aku segera turun dari motornya dan mengucapkan terimakasih.

Dia hanya melirikku sekilas lalu tancap gas, meninggalkan aku yang berdiri di depan pagar rumahku sambil menatap nanar ke arah punggungnya yang sudah mulai menghilang di tikungan jalan.

Aku menghela nafas lelah, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

*

Kantin. Tempat di mana aku dan para sahabatku berada sekarang. Sedari tadi senyum nggak pernah lepas dari bibirku.

kenapa?

Karna Rein kini sedang duduk manis di depanku.

Entah setan apa yang membuat Rein mau bergabung bersamaku. Bersama sahabatku juga deh. Hehe.

"Tumben gabung di sini. Biasanya kan di sana?" ujar Rara sambil menatap Rein.

Rein balik menatap Rara dengan senyum manis di bibirnya.

Hm, coba saja senyum itu untukku.

"Emang nggak boleh? Gue bosen juga kali duduk di sana. Lagian di sini tempatnya enak." ujar Rein. Matanya nggak pernah beralih dari Rara yang duduk di sampingku.

"Nggak papa kok. Kan sekalian nambah temen cowok." ujar Edward yang di angguki oleh sahabatku yang lain.

Rein hanya tersenyum tipis menaggapi ucapan Edward. Lalu setelah itu mereka semua di sibukkan dengan aktivitas masing-masing.

Ara dan Mika yang sedang makan sambil suap-suapan, Amy dan Erzan yang sedang berdebat tentang minuman, Nana dan Edward yang sedang tatap-tatapan gaje-untuk yang ini aku rada-rada pengen muntah-Winiy yang sedang mencomot makanan Avo, dan Rara yang sedang bercengkrama dengan Rein.

'Kok lo ganteng sih Rein?! Ughh! Gue makan juga lo!' batinku berucap sambil tersenyum gemas.

"Hah? Lo pengen makan Rein?! Astaga! Sejak kapan lo berubah jadi kanibal, Ayi?!" ujar Winiy heboh.

Tunggu.. Apa yang di maksud Winiy?

Jangan bilang aku...

"Gue ngomong apa?!" ujarku panik. Ku lihat para sahabatku sedang menahan tawanya. Dan muka Rein kembali terlihat datar plus dingin.

"Pft! Tadi, lo bilang pengen makan Rein, Hahahaha" ujar Nana dengan tawa yang menghambur keluar. Juga sahabatku yang lain.

Oke,

MAMA, BUNUH AYI SEKARANG JUGA, MA!

"Ehh.. Gitu ya?" ujarku dengan suara kecil sambil menggaruk tengkukku yang sebenarnya nggak gatal. Ku lirik Rein yang sedang menatap dingin ke arahku.

"Sorry Rein.. Gue nggak sengaja, keceplosan" ujarku sambil nyengir kuda ke arah Rein. Rein hanya diam nggak menanggapi ucapanku.

Dia beneran marah ya?

Aku kan keceplosan. Siapa suruh terlalu ganteng jadi orang!

"Udah kali Rein.. Maafin aja. Lagian kan Ayi nya jujur kalau lo itu ganteng" ujar Rara, sepertinya dia berusaha menolongku dari tatapan laser nya Rein.

"Iya deh." Rein tersenyum manis ke arah Rara. "Gue maafin lo" lanjutnya sambil menatap dingin ke arahku.

Entah kenapa, seperti ada yang tersentil di hatiku. Sikapnya ke Rara lebih, gimana ya? Lebih sweet gitu.

"Thanks Rein" ujarku sambil tersenyum pahit. Dia hanya berdehem singkat sebagai jawaban.

"Ehh.. Hati-hati dong kalau makan. Kan belepotan jadinya." ujar Rein kepada.. Rara?

Perlahan, Rein mengambil tisu lalu mengelap sudut bibir Rara, dengan sebuah senyum manis di bibirnya.

Saat ini, seperti ada dua batu besar yang menghimpit dadaku. Sesak.

Aku hanya bisa terdiam saat Rara mengucapkan terima kasih dan di balas dengan suara Rein yang terdengar lembut.

Sikapnya sangat berbeda saat sedang denganku.

Salah. Ini semua salah.

Apa Rein...?

Nggak!

Aku nggak boleh memikirkan hal-hal aneh tentang Rein dan Rara tanpa alasan yang jelas.

Aku harusnya positive thingking.

Ya,

Memang seharusnya begitu.

*

Editing = 23 Oktober 2016

Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang