"Pagi sayang." ucap Rein ketika aku membuka pintu rumahku. Dia tersenyum hangat sehangat mentari yang bersinar pagi ini. Shekkk.
Melihat senyum cerah Rein, aku ikut tersenyum. Rein menggandeng tanganku menuju ke mobilnya yang terparkir rapih di depan rumahku. Dia membukakan pintu untukku, aku tersenyum lalu masuk ke dalam mobil. Rein mulai menyalakan mesin mobilnya dan kami menuju ke sekolah.
Oh ya! Hubungan ku dan Rein sudah berjalan selama 2 bulan. Saat Rein menyatakan perasaannya waktu itu aku nggak langsung menjawab. Aku meminta waktu dan dia menyetujuinya. Keesokan harinya aku meminta pendapat para sahabatku. Dan mereka bilang, jika aku bahagia kenapa enggak? Mereka memang sahabat terbaik yang ku punya.
Setelah berdiskusi dengan para sahabatku, saat jam istirahat aku menemui Rein di kantin dan mengatakan jawabanku. Saat itu aku pikir dia akan memelukku saking senangnya, tapi nyatanya aku harus menelan pil pahit, saat itu dia hanya mengangguk lalu menyuruhku duduk di sampingnya.
Jika kalian berfikir Rein orang yang romantis, maka kalian salah. Dia sangat-sangat-sangat nggak romantis. Bahkan selama 2 bulan berpacaran kami nggak pernah berkencan. Aku terkadang heran sama dia, di saat aku sudah mulai bosan dengan sikapnya dan berniat akan memutuskan hubungan kami, dia akan bersikap baik sehingga aku luluh dan nggak jadi memutuskannya.
Seperti tadi, aku juga bingung. Di sini seperti ada sesuatu yang nggak ku ketahui, entahlah apa itu.
"Hey, kok ngelamun. Udah nyampe nih." aku tersentak kaget mendengar ucapan Rein. Ternyata sedari tadi aku melamun toh.
"Eh? Udah nyampe ya?" ujarku setengah meringis, Rein hanya memutar kedua bola matanya malas. Dia keluar dari mobil dan meninggalkan ku sendirian di dalam mobil. Aku kembali merasakan nyeri di hatiku. Anak itu seperti bunglon, sangat suka berubah-ubah.
Aku menghapus air mataku yang tanpa ku sadari telah jatuh. Aku merapikan kembali dandananku lalu keluar dari mobil Rein dan berjalan ke dalam sekolah dengan senyum ceria—yang sebenarnya fake smile—tersungging manis di bibirku.
"Hayyy!" sapaku ketika melihat para sahabatku sedang berkumpul di taman sekolah. Kebetulan bel masuk akan berbunyi sekitar dua puluh lima menit lagi.
"Hayy!" sapa mereka serempak. Aku segera mengambil tempat di samping kiri Rara.
"Nggak sama Rein?" tanya Amy.
Aku ternsenyum simpul. "Sama dia kok." ujarku tenang. Yahh, para sahabatku memang nggak mengetahui bagaimana hubungan ku dengan Rein selama ini. Mereka hanya tau jika aku sangat bahagia bersama Rein. Yah... Aku memang menutupi semua keburukan Rein dari mereka. Aku nggak mau mereka menyuruhku memutuskan hubunganku dengan Rein. Sungguh aku sangat nggak mau itu terjadi.
"Terus, sekarang Rein nya di mana?" tanya Nana curiga. Aku mulai salah tingkah. Matilah aku!
"Anu.. Tadi dia ada urusan sama temannya. Iya! Ada urusan sama temannya." ujarku sambil tersenyum bodoh. Nana menatapku intents, bukan hanya Nana, tapi semua sahabatku. Pengecualian Rara dan Karel karna mereka sedang bermesraan.
"Hm.. Oke." ujar Nana santai. Tanpa sadar aku menghela nafas lega. Hampir saja..
Kringggg!!
Bel masuk berbunyi. Aku dan para sahabatku mulai berpencar ke kelas masing-masing.
*
Aku sedang menunggu Rein di parkiran mobil. Entah anak itu ada di mana, padahal aku sudah menunggu selama setengah jam.
"Hey.. Ayi yah?" ujar seseorang yang ku ketahui sebagai salah satu teman dekat Rein. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
Orang itu mengulurkan tangannya. "Kenalin, gue Randi. Sahabat Rein." ujar orang itu yang ternyata bernama Randi.
"Ah, iya Randi. Ada apa ya? Kalau nyari Rein, dia nggak ada di sini. Gue juga udah nunggu setengah jam." ujarku sambil tersenyum kecut. Dapat ku lihat bola mata Randi membulat terkejut dan dia mengumpat kecil.
"Gue nggak mau ketemu Rein, gue mau ngasih tau sesuatu sama elo." ujar Randi setengah berbisik. Aku memajukan wajahku agar bisa mendengar Randi.
Randi mulai berbicara. "Jadi sebenarnya Rein itu cum—"
"Ohhh... Jadi gini kelakuan elo kalau gue nggak ada?!" aku dan Randi tersentak kaget mendengar suara Rein yang memotong ucapan Randi.
"Rein, ini nggak seperti yang lo pikir." Randi mencoba menjelaskan. Sedangkan aku mulai merasa takut.
"Alah.. Udahlah! Mending lo pergi! Gue pengen bicara berdua sama cewek gue!" Rein berujar sambil menekankan kata cewek.
"Tap—"
"Pergi!" lagi-lagi Rein memotong ucapan Randi. Randi menatap nggak enak ke arahku, aku memberinya tatapan -gue-bakalan-baik-baik-aja- dan untungnya Randi mengerti itu. Dia segera beranjak dari hadapanku dan Rein.
Rein menarik tanganku masuk ke dalam mobil. Aku sampai meringis karna genggamannya yang terlalu kuat.
"Gue nggak nyangka kelakuan lo kayak gitu di belakang gue!" teriak Rein ketika dia sudah masuk ke dalam mobil. Aku berusaha sekuat tenaga agar air mataku nggak jatuh.
"Enggak Rein, kamu salah paham." ujarku sambil berusaha menggenggam tangannya. Rein dengan kasar menepis tanganku.
"Alah.. Gue nggak percaya sama lo! Mending sekarang lo turun! Gue muak liat muka lo!" ujar Rein ketus plus dingin plus sinis. Aku masih berusaha menahan air mataku.
"Tap—"
"TURUN!" Rein berteriak memotong ucapanku. Aku turun dari mobil Rein dengan badan yang bergetar antara takut dan berusaha menahan air mata.
Rein segera menancap gas setelah aku turun dari mobilnya. Sekolah sudah sepi. Bahkan nggak ada kendaraan yang tersisa lagi di parkiran.
Perlahan tapi pasti, air mata yang sedari tadi ku tahan akhirnya turun. Bersamaan dengan hujan yang turun membasahi bumi.
Terimakasih hujan karna sekali lagi engkau telah menyamarkan air mataku. Terimakasih... Aku sayang Rein..
*
Pagi ini aku berjalan di koridor sekolah dengan sedikit tergesa-gesa. Aku berniat meminta maaf kepada Rein. Untungnya Rein sudah berada di sekolah, aku melihat mobilnya tadi di parkiran.
Kini aku sudah berada di depan kelas Rein. Aku melihat ke dalam kelas tapi aku hanya menemukan tas Rein. Orangnya entah berada di mana.
"Hey.. Liat Rein nggak?" tanyaku kepada salah satu teman kelas Rein yang hendak keluar kelas.
"Tadi dia pergi sama Randi." ujar teman Rein. Sama Randi? Kira-kira dia kemana ya??
"Lo tau nggak, mereka ke mana?" tanyaku lagi pada anak itu. Dia terlihat seperti sedang berusaha mengingat-ngingat sesuatu.
"Kalau nggak salah tadi Rein bilang pengen ke taman belakang sekolah."
"Oke, thanks ya!" ujarku kepada anak itu. Dia mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu aku segera beranjak menuju ke taman belakang sekolah.
Saat aku ingin berbelok kanan yang menuju ke taman belakang. Samar-samar aku mendengar teriakan seseorang dari tikungan sebelah kiri yang langsung menuju ke... Gudang?
Karena memang dasarnya aku anak yang kepo-an. Aku berusaha mencari asal teriakan itu. Semakin dekat dengan gudang semakin jelas juga teriakan itu. Sebenarnya bukan teriakan, lebih seperti dua orang yang sedang bertengkar.
Saat benar-benar sampai di depan pintu gudang. Aku mendengar suara yang sangat familiar di telingaku.
"Lo nggak usah ikut campur urusan gue!" itu.. Suara Rein. Iya! Itu suara Rein!
"Tapi lo udah terlalu jauh!" balas seseorang. Dan suaranya terdengar seperti suara.. Randi?
"Gue udah bilang! Ini urusan gue!" Rein berteriak marah. Aku semakin merapatkan tubuhku ke pintu gudang, berusaha untuk mendengar lebih jelas.
"TAPI AYI TULUS SAMA LO! LO LEBIH JAHAT DARI SEORANG PEMBUNUH KARNA MEMACARI AYI HANYA UNTUK BALAS DENDAM LO YANG NGAK JELAS ITU!!!"
BRUK!
Oh my Goddest..
*
Editing = 21 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan
Non-Fiction(Done editing at 21 Juni 2017) Ini cerita tentang Ainun Keana Brave. Si gadis polos dengan segala kecerobohannya. Ini juga cerita tentang Rein Adelson Parker. Si Mr. Es batu dengan muka datar kayak papan triplek. Penasaran dengan mereka berdua? Chek...