Aku berbalik lalu berlari ke arah Rara dan memeluknya. Untuk beberapa detik badan Rara menegang lalu kemudian kembali rileks. Aku melepaskan pelukanku.
"Lo kenapa sih?!" ketus Rara. Aku hanya tersenyum lebar sebagai jawaban.
"KAREL BEGOO!! KELUAR LO!" mereka semua tersentak kaget mendengar teriakanku. Hehe. Maafkan diriku.
Nggak lama kemudian, Karel keluar dari balik pohon besar yang keberadaannya nggak jauh dari kami. Dia berjalan dengan sebuah senyum cerah-yang sangat cerah di bibirnya.
Begitu sampai di depan Rara, Karel segera menarik Rara ke dalam pelukannya. Rara memberontak di dalam pelukan Karel, hingga akhirnya Karel melepaskan pelukannya.
"Apaan sih lo?! Main peluk-peluk aja!"
"Udah sih Ra, kalau udah ngaku cinta mah nggak usah gengsi lagi." godaku. Rara memberenggut kesal, tapi pipinya jelas-jelas memerah. Karel? Anak itu hanya cengar-cengir nggak jelas dari tadi. Dasar.
"Tunggu, tunggu. Ini kenapa ya? Kok gue nggak ngerti?"
Para sahabatku mengangguk menyetujui perkataan Amy. Kebingungan tercetak jelas di wajah mereka. Ah, biar saja ini menjadi urusan Rara dan Karel.
"Mending tanya langsung ke orangnya tuh." ujarku ketika mereka semua memandang penuh pertanyaan ke arahku.
"Hehe. Sorry guys. Gue bukannya mau boongin kalian, gue cuma, apa ya? Kalian semua tau kan gue nggak suka sama perjodohan?" mereka semua mengangguk mendengar pertanyaan Rara. Minus Rein. "Jadi ya gitu, pas orang tua gue bilang kalau gue mau di jodohin, ya gue nggak sejutu. Tapi tetep aja ujung-ujungnnya perjodohan itu nggak bisa gue hindarin. Ya karna gue nggak suka sama perjodohan itu, jadi gue nganggep perjodohan itu nggak pernah ada, makanya gue nggak pernah ngasih tau kalian. Maaf ya guyss.."
Rara menunduk sedih setelah menyelesaikan penjelasannya. Ku lihat Amy tersenyum teduh, lalu berjalan ke arah Rara dan memeluknya, setelah itu semua sahabatku ikut memeluk Rara. Minus Rein tentu saja.
"Nggak papa Ra, kita ngerti kok. Nggak papa." ujar Amy menenangkan.
*
Pagi ini aku berjalan di koridor sambil celingak-celinguk seperti maling. Ehh! Aku nggak mau maling yaa! Aku lagi nyari Rein.
Semalam aku tutorial membuat gelang. Sumpah deh, keliatannya tuh gampang banget! Tapi pas di coba.. Masayaallah susahnya! Untungnya jadi nih gelang, meskipun selesainya jam setengah 4 subuh sih.
"Rein!!" teriakku saat melihat Rein berjalan nggak jauh di depanku. Dia menoleh lalu mempercepat langkahnya.
"Rein, tunggu dulu dong.." ujarku setengah ngos-ngossan karna mengejarnya.
Rein menghela nafas kesal. "Napa?" ujar Rein jutek.
"Ini nih, gue buat ini buat lo. Butuh perjuangan banget tau nggak? Gue buatnya sampe jam setengah 4 subuh!" aku menyerahkan gelang yang ku buat ke Rein. Dia mengambil gelang itu lalu mengamatinya.
"Thanks." ujarnya dingin. Ttapi aku tetap senang karna dia mau mengambil gelang pemberianku itu.
Aku terus memperhatikannya hingga dia berhenti di depan kelasnya. Dan...
Nyess!!!
Rasanya kayak ada yang nusuk aku pake samurai tepat di jantung. Sakit.
Rein membuang gelang pemberian ku!
Ku ulangi,
REIN MEMBUANG GELANG PEMBERIAN KU YANG KU BUAT HINGGA JAM SETENGAH 4 SUBUH!!!
Aku tertawa miris di buatnya. Dia bahkan nggak bisa menghargai pemberianku. Tanpa sadar setetes air mataku kembali terjatuh, aku segera menghapusnya sebelum ada yang melihat, lalu berjalan menuju ke arah kelasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan
Non-Fiction(Done editing at 21 Juni 2017) Ini cerita tentang Ainun Keana Brave. Si gadis polos dengan segala kecerobohannya. Ini juga cerita tentang Rein Adelson Parker. Si Mr. Es batu dengan muka datar kayak papan triplek. Penasaran dengan mereka berdua? Chek...