Third : Suara Hati Jessica

131 19 2
                                    

Mobil yang dikendarai Danu berhenti persis di dalam garasi sebuah rumah. Setelah mematikan mesin, lelaki itu bergegas keluar diikuti Jessica dari belakang. Gadis itu mulai membuka ikatan rambutnya yang banyak sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Ia resah berdandan demikian lama-lama. Kalau tidak karena peraturan ospek, mana mungkin dia mau berdandan begitu. Selama dalam perjalanan pulang tadi, iapun juga sudah menghapus make-up menor yang terpoles di wajahnya. Hingga setelah sampai dirumah, hanya ikatan rambutnya saja yang belum diperbaiki. Jessicapun akhirnya berhasil melepas seluruh ikatan rambutnya begitu sampai di depan pintu rumah. Dengan rambut yang sudah digerai hingga ke punggungnya, gadis cantik itu melangkah menuju ke dalam rumah.

"Bik..." seru Jessica ketika sampai diruang tengah.

"Ya Non," sahut si pembantu dari belakang.

"Masak apa untuk makan malam?" tanya Jessica masih dari ruang tengah.

"Pepes Non," sahut si pembantu lagi. Jessica sedikit heran dan segera menghambur menuju dapur, tempat pembantunya tengah memasak.

"Bik, Bibik tahu kalau aku tidak suka pepes. Kenapa dibuat?" tanya gadis itu.

"Nyonya yang suruh," bisik si pembantu. Jessica mendengus dengan geram.

"Dia lagi, memangnya dia pikir ini rumahnya apa? Seenaknya saja mengatur-atur," omel Jessica sambil melangkah gontai meninggalkan dapur. Si pembantu melihat anak majikannya itu dengan pandangan penuh rasa iba. Jessica terus melangkah menuju lantai dua. Namun ketika sampai di pertengahan tangga, ia berpapasan dengan seorang perempuan paruh baya yang berjalan turun dari atas.

"Kamu sudah pulang Jes?" sapa perempuan itu beramah tamah. Jessica tidak menjawab, ia hanya tersenyum sekilas dan terus melangkah menuju ke lantai dua.

"Jessica," sergah perempuan itu mencegat langkah Jessica. Jessica menghentikan langkah persis setelah tiba dianak tangga terakhir. "Mama bertanya, kenapa kamu tidak jawab?" tanya perempuan itu lagi. Jessica menoleh kepada perempuan itu dengan pandangan heran.

"Mama? Tidak salah? Walaupun Anda menikah dengan papa saya, Anda tidak bisa menjadi mama saya. Paham?" sergah Jessica geram. Perempuan paruh baya kembali naik ke lantai dua dan menghampiri Jessica.

"Sampai kapan kamu tidak menerima kehadiran Mama dirumah ini Jes? Mama tidak sanggup dianggap orang lain terus. Sejak dari kecil, kamu Mama rawat," ucap perempuan itu.

"Tante Sarah," sergah Jessica. "Aku tidak akan pernah bisa memanggil Tante dengan sebutan 'Mama'. Karena Tante memang bukan mamaku. Bukan orang yang melahirkanku. Tante memang sudah menikah dengan Papa, tapi itu tidak bisa menggantikan Mama,"

"Tapi Jes..." tukas Sarah.

"Satu lagi. Tante tidak berhak mengatur-atur dirumah ini. Kenapa Tante suruh Bibik memasak pepes? Padahal Tante tahu kalau aku tidak suka itu,"

"Karena Mama sedang mengidam pepes. Ya, Mama tahu kalau kamu tidak menyukainya. Makanya Mama suruh Bibik untuk membuatkan menu lain untukmu. Jangan langsung marah begitu dong. Kamu bisa makan dengan menu yang lain," jawab Sarah penuh kesabaran. Namun Jessica hanya mendengus.

"Ya sudah, terima kasih kalau begitu," ucapnya dan kemudian segera berlari menuju ke dalam kamarnya. Sejenak kemudian Sarah dapat mendengar suara pintu kamarnya ditutup keras-keras, menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Sarah hanya bisa mendengus dan geleng-geleng kepala menghadapi perangai anak tirinya itu. Sejak menikah dengan Irwan tujuh belas tahun yang lalu, sampai sekarang Jessica tidak pernah bisa bersikap ramah kepadanya. Dan juga tidak pernah bisa memanggilnya dengan sebutan 'Mama'. Padahal Sarah sudah terus mencoba dan tak pernah berhenti mencoba bersikap sabar dan memperlakukan Jessica seperti Jeanne, anak kandungnya sendiri, buah cintanya dengan Irwan. Perlahan, Sarah menuruni tangga kembali dan menemui pembantunya di dapur.

Jason & JessicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang