Ninth : Siasat

94 14 1
                                    

Bianglala berubah rona sore ini. Entah mengapa, langit begitu kelam. Seperti pertanda akan segera turun hujan. Jason yang baru saja keluar kelas bersama beberapa mahasiswa lain, mendadak sedikit merasa heran menatap langit sore. Dengan langkah tergesa-gesa pemuda itu menghampiri sepeda motornya yang terparkir di pelataran parkir. Sebelum hujan turun, ia ingin segera pergi. Agar ia tidak terkurung hujan di kampus ini.

Namun apa yang dilihatnya setelah sampai di motornya, benar-benar membuat Jason terbelalak. Ban sepeda motornya kempes. Oh Tuhan, kenapa ini sampai terjadi, bisik hati pemuda ganteng itu. Iapun mulai gusar, karena bengkel terlalu jauh jaraknya dari kampus ini. Kalau mengendarai sepeda motor ini dalam keadaan bannya yang kempes, itu lebih berbahaya lagi. Huft, Jason mendengus gusar. Sejenak kemudian, ia meraih ponselnya, berniat ingin menghubungi Jessica, sang kekasih.

"Halo Sayang, kamu dimana?" tanya Jason setelah mendengar sapaan Jessica.

"Aku baru saja keluar kelas, tadi ada kelas bersama Pak Yudha. Kamu dimana? Kamu tidak meninggalkanku bukan?" tanya Jessica pula. Ya, mereka sudah berjanji untuk pulang bersama lagi hari ini. Namun Jason tidak akan mengantarkan Jessica sampai di depan rumahnya, begitu rencana yang sudah mereka buat. Maka dari itu, Jessicapun sudah mengirimkan pesan singkat kepada Danu agar tidak usah menjemputnya ke kampus.

"Aku di parkiran. Aduh, maaf sekali Sayang. Sepertinya, kamu pulang naik taksi saja ya. Ban motorku tiba-tiba kempes," ungkap Jason. Jessica menyerukan suara keterkejutan.

"Kok bisa?" tanya gadis itu.

"Tidak tahu. Akupun bingung,"

"Ya sudah. Ini aku sudah di dekat parkiran," kata Jessica pula. Ia segera mematikan hubungan pembicaraan. Tak berapa lama kemudian, iapun sampai di dekat kekasih hatinya itu. Jessica segera menghambur ke hadapan Jason.

"Sayang, kenapa?" tanya gadis itu.

"Itu lihat," kata Jason menunjuk ban sepeda motornya. Jessica melirik, dan ikut-ikutan terbelalak. Ya Tuhan, kenapa bisa begini? Padahal tadi ban sepeda motor itu baik-baik saja.

"Ya Tuhan, kalau tahu begini aku tidak mengirimkan pesan kepada Pak Danu tadi. Sekarang mau bagaimana lagi? Kalau aku kirim pesan sekarang, tentu Pak Danu datangnya akan lama. Lagipula jam-jam segini pasti jalanan macet," sembur Jessica panik.

"Kalau begitu kamu naik taksi saja untuk kali ini. Aku akan mendorong sepeda motor ini sampai bengkel. Atau nanti beriringan dengan teman yang memakai sepeda motor lainnya. Ya sudah, bergegaslah. Kau lihat keatas, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan deras," ungkap Jason. Jessica mendongak, menatap langit. Ya, memang kelam. Apalagi ditambah suara gemuruh yang membahana. Menambah keyakinan orang-orang bahwa hujan memang akan segera turun.

"Kamu tidak apa-apa aku tinggal?" tanya Jessica mengkhawatirkan sang kekasih.

"Tidak apa. Aku nanti bisa berteduh. Aku pulang lamapun tidak mengapa, karena mamaku pasti pulang larut seperti biasa. Sedangkan kau, kalau telat sampai rumah, pasti akan dimarahi lagi oleh papamu. Sudah, cepat pulang," perintah Jason. Jessica sedikit ragu, namun apa yang dikatakan kekasihnya itu benar juga.

"Ya sudah kalau begitu," tukas gadis itu. Sebelum berpisah, ia sempat mengusap wajah Jason perlahan. Jason tersenyum simpatik dan menatap kepergian kekasihnya itu dengan pandangan sayang. Dibalik tembok gedung fakultas, ternyata Terry dan Robert memperhatikan mereka sambil tersenyum sinis. Keduanya saling mengadu telapak tangan mereka, pertanda bahwa mereka sukses menjalankan siasat itu. Ya, apa yang sudah terjadi saat ini, memang semua adalah setting-an kedua orang itu. Apalagi ditambah dengan cuaca yang mendukung, membuat keduanya benar-benar merasa Dewi Fortuna berpihak kepada mereka. Dan melihat Jessica berjalan meninggalkan Jason, Robertpun melangkah mendekati mobilnya. Ia segera menyusul langkah kaki gadis yang diincarnya itu. Sementara itu, Terry berjalan gontai mendekati Jason.

Jason & JessicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang