Tenth : Awal Sebuah Kecurigaan

107 14 1
                                    

Hari ini hari Minggu. Maka dari itu, Jason tidak harus bangun terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Pemuda itu menggeliat di ranjang ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dengan rasa malas, ia bangkit dan mencabut charger yang menempel di ponsel yang diletakkannya di meja kecil samping ranjangnya. Sekilas ia terbelalak melihat banyaknya panggilan tak terjawab yang tertera di layar. Ketika dibukanya, ternyata itu dari Jessica. Oh Tuhan, ternyata semalaman gadis itu sudah menghubunginya sebanyak tujuh puluh kali.

Sambil bangkit berdiri, Jason mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. Aneh, kejadian terakhir yang bisa diingatnya hanya ketika ia sedang di bengkel bersama Terry. Setelah itu, apakah yang terjadi? Kenapa ia sudah berada di kamar ini ketika terbangun? Lalu sepeda motornya bagaimana? Sebelum menemukan jawaban yang pasti, tiba-tiba pintu kamar Jason diketuk beberapa kali. Pemuda itu segera menghambur ke pintu dan membukanya. Ternyata Martha sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

"Jas, ini sudah jam berapa? Kenapa kamu baru bangun?" tanya Martha.

"Maaf, aku kesiangan. Lagipula ini hari Minggu, tidak apa kalau kesiangan," jawab Jason. Sekilas diperhatikannya penampilan sang ibu. Sudah rapi, sepertinya perempuan itu akan segera pergi meninggalkan rumah.

"Tadi malam kamu kenapa, kamu mabuk atau bagaimana?" tanya Martha pula. Jason terjingkat dan mengernyitkan dahi. Memangnya apa yang terjadi padanya semalam?

"Memangnya aku kenapa?"

"Tadi malam kau tidak sadarkan diri. Teman gadismu yang mengantarkanmu kesini, dan sepeda motormu diantarkan oleh seorang pria, yang sepertinya montir bengkel," ungkap Martha. Jason mengernyitkan dahi lagi, ia mencoba memutar otak. Mengingat-ingat apa yang pernah dialaminya. Tapi sepertinya, ia tidak ingat apa-apa lagi selain kejadian terakhir saat ia tengah di bengkel bersama Terry.

"Aku tidak ingat..." bisik Jason tertahan.

"Ya sudah. Mama harus segera ke butik. Sarapan sudah Mama siapkan di meja makan," sergah Martha memotong ucapan sang putra. Jason mendengsus dan mengangguk sekilas. Percuma kalau melarang, Martha tetap tidak akan mengiyakannya. Maka, lebih baik diam saja. Setelah itu, Martha bergegas meninggalkan pintu kamar putranya lagi.

Setelah mandi dan berkemas, Jason terpikir ingin melakukan ziarah ke makam ayahnya yang sudah lama tidak dikunjungi. Maka dari itu, ia meraih ponselnya dan menghubungi nomor ponsel Jessica. Setelah mendengar bunyi tut panjang dua kali, terdengar suara Jessica menjawab telepon masuk darinya itu.

"Halo Sayang. Kamu darimana saja? Semalaman aku menghubungimu tapi tidak kau angkat. Aku mencemaskanmu Jason," sembur Jessica.

"Maaf, aku ketiduran Sayang. Ini aku baru bangun," jawab Jason sedikit terkekeh.

"Sudah sarapan?"

"Belum. Bukankah sudah kukatakan kalau aku baru saja bangun. Ohya Sayang, kebetulan ini hari Minggu, aku ingin berziarah ke makam ayahku. Apakah kau mau menemaniku?" ungkap Jason mengutarakan usulnya.

"Iya. Tapi kau tidak usah menjemputku ke rumah. Kau tunggu aku di depan mesjid yang ada di depan jalan menuju komplek perumahanku," kata Jessica pula.

"Siap. Sekitar satu jam lagi aku kesana. Aku sarapan dulu. Nanti setelah sampai disana, aku menghubungimu,"

"Baiklah," jawab Jessica pula. Hubungan pembicaraanpun berakhir. Jason segera melangkah keluar kamar dan menuju ruang makan. Di meja makan, sudah tersedia secangkir coklat panas, dan sepiring nasi goreng. Itulah menu sarapan pagi yang sudah disiapkan Martha untuknya. Seperti biasanya, ketika Jason bangun kesiangan, Martha akan selalu meninggalkan rumah dengan sarapan yang sudah disiapkan untuk sang putra. Perlahan, Jason duduk disalah satu kursi. Ia menikmati menu sarapannya seorang diri. Tiada suara-suara berisik yang mengisi gendang-gendang telinganya. Hanya terdengar bunyi sendok dan garpu yang beradu dengan piring kaca, hanya itu yang dapat didengarnya. Seandainya disini ada Ayah, bisik Jason dalam hati. Seandainya saja ayahnya masih hidup, tentu ia tidak akan sendirian begini. Tentu ada orang yang dapat menemaninya menikmati sarapan pagi, berbagi cerita dengannya. Tetapi apalah daya, sang ayah sudah tiada. Bila mengingat hal itu, tiba-tiba pelupuk mata Jason digenangi air mata.

Jason & JessicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang