Fourth : Jason dan Bola Basket

113 18 0
                                    

Menu andalan Jason setiap malam adalah mie instan, entah itu digoreng atau direbus. Bukan karena terlalu menyukainya, tetapi karena hanya itu yang dapat dimasaknya untuk mengganjal perut. Jam di dinding sudah berdenting sebanyak sembilan kali, menandakan bahwa sudah pukul sembilan malam. Namun Martha, ibunya, belum juga pulang dari bekerja. Sementara dirumah tidak ada siapa-siapa, karena Jason hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Sambil mendengus sedikit, pemuda ganteng itu mulai membuka lemari dan meraih satu bungkus mie instan lalu memasaknya. Setelahnya, ia segera menikmatinya seorang diri diruang makan dengan ditemani lagu mellow milik penyanyi solo Afgan, yang dinyalakannya melalui MP3 ponselnya. Sambil menikmati lagu itu, ia terus menikmati mie instan buatannya sendiri. Sejenak kemudian ia menyunggingkan senyum tatkala mengingat lagu yang dinyanyikan Jessica tadi siang di kelas. Ternyata gadis cantik itu memiliki bakat menyanyi juga, pikir Jason. Bahkan suaranya tidak kalah dengan suara emas milik pelantun lagu Bukan Cinta Biasa itu. Tiba-tiba suara deru mesin mobil terdengar menggema di depan rumahnya. Jason yakin itu pasti Martha, ibunya. Maka, dengan sigap, pemuda itu melangkah ke pintu depan demi membukakan pintu yang tadi dikuncinnya. Ketika pintu terbuka, Martha melangkah masuk dengan wajah yang begitu penat. Ia menenteng sebuah kantong plastik dan melirik kepada putra semata wayangnya.

"Kenapa Mama pulang lama sekali?" tanya Jason.

"Lembur," jawab Martha. "Kau sudah makan? Ini Mama belikan pizza, beef pepperoni," sambung Martha memberikan kantong plastik yang ditentengnya kepada Jason.

"Barusan aku makan mie instan," jawab Jason singkat.

"Oh. Aduh, Mama capek sekali. Mama mau langsung istirahat saja. Kau masukkan saja pizza ini ke dalam kulkas. Agar besok masih bisa dimakan," ujar Martha lagi.

"Ya," sahut Jason menerima uluran kantong plastik yang diberikan sang ibu. Kemudian, Martha berniat segera ke kamarnya. Namun Jason mencegat langkahnya.

"Ma," panggil Jason. Martha menoleh kepada anak semata wayangnya itu. "Kapan Mama punya waktu untukku? Sekali-sekali aku ingin diperlakukan seperti anak lain. Mereka punya keluarga yang harmonis, hubungan anak dan orang tua yang akur dan hangat. Aku ingin merasakan hal itu. Dari kecil sampai sekarang saat usiaku sudah dua puluh tahun, apa Mama pernah memberikan sedikit waktu luang untukku? Tidak pernah Ma. Mama selalu sibuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Mama tidak pernah memperhatikan aku, apa Mama tidak sayang padaku?" sambung Jason berapi-api. Matanya menyorotkan keseriusan yang mendalam. Martha menatap mata putranya itu dengan tanpa berkedip. Ia menghela napas sejenak.

"Jason, dengarkan Mama. Mama melakukan semua ini, demi kamu. Mama bekerja banting tulang, pergi pagi pulang malam, itu semua demi kamu Nak. Kalau tidak dengan apa kita makan? Dengan apa kita hidup? Biaya kuliahmu? Ini-itu, segala macam? Kau pernah berpikir tidak? Jangan asal mengomel begitu," sergah Martha pula.

"Aku tahu Mama bekerja demi aku. Tapi tidak harus sesibuk ini bukan? Sekali-sekali kita refreshing, saat Mama sedang off bekerja. Kita ziarah ke makam Papa, atau apa. Sudah lama bukan, kita tidak berziarah ke kuburan Papa?" tanya Jason pula. Sejenak Martha terlihat kaget, ia tidak menduga bahwa Jason akan menyinggung-nyinggung soal ayahnya.

"Sudahlah Jas, Mama capek, baru pulang bekerja. Sudah kamu suguhkan dengan pertengkaran seperti ini. Mama butuh istirahat. Kamu pikir kerja Mama enak, santai? Kamu pikir kerja melayani costumer itu hal yang menyenangkan dan tidak melelahkan? Itu menguras tenaga dan otak Jason. Perlu kau tahu itu. Makanya, jangan sekali-kali kamu membuat kepala Mama bertambah ruwet dengan kelakukanmu. Itu membuat Mama bertambah stress," ungkap Martha.

"Tapi Ma..." sergah Jason tertahan.

"Sudahlah," potong Martha dan bergegas menuju kamarnya sendiri. Sepeninggal ibunya, Jason geram sendiri. Ia tidak bisa hidup begini, hidup yang kaku dan monoton. Sudah cukup sabar ia menghadapi kehidupan macam ini selama bertahun-tahun. Dan kini, saat usianya sudah cukup matang, ia merasa tidak betah lagi. Ia ingin berontak, keluar dari kungkungan ini. Ia ingin merasakan hal yang dirasakan teman-temannya. Mereka punya orang tua yang lengkap, keluarga yang harmonis, hubungan orang tua dan anak yang rukun dan hangat. Sementara Jason, ia tidak pernah merasakan hal itu, bahkan dari kecil. Dulu, Jason masih ingat, ia tinggal bersama neneknya di Bandung sampai usia tiga tahun. Dan setelah berusia tiga tahun, Martha membawanya ke Jakarta dan hidup berdua sampai saat ini. Ayah Jason sudah meninggal saat ia masih berusia sangat kecil akibat suatu penyakit yang dideritanya. Itu cerita yang didengarnya dari Martha. Jason tidak pernah bertemu dengan sang ayah, ia hanya dapat bertemu dengan pusara sang ayah. Hingga detik ini, Martha tidak pernah menikah lagi. Ia bekerja banting tulang demi kelangsungan hidup ia dan anak semata wayangnya. Ia bahkan tidak pernah punya waktu untuk Jason sejak mengelola butik. Jason juga tidak mempunyai saudara, kakak atau adik. Ia anak semata wayang, dan sejak kecil Jason sudah mandiri. Itu karena ia terbentuk dari keluarga yang demikian, hingga memaksanya melakukan segala sesuatu sendirian tanpa bantuan orang lain. Karena Martha tidak pernah mempekerjakan pembantu untuk mengurus rumahnya. Menurutnya, gaji untuk pembantu lebih baik ditabung untuk keperluan lain. Hingga Jason benar-benar merasa sunyi di rumahnya seorang diri.

Lamunan Jason buyar, ia merasa pelipisnya basah. Tanpa terasa bening bergulir dari ruang matanya. Pemuda ganteng itu menggenggam bungkusan pizza yang masih digenggamnya, dan kemudian melemparnya masuk ke dalam tempat sampah. Bukan ia tidak menghargai pemberian sang ibu, tapi karena hatinya terlanjur pedih menerima kenyataan ini. Jadi apapun terasa tidak enak dimakan. Kalau sudah emosi begini, hanya satu hal yang bisa dilakukan Jason. Ia akan berlari menuju ke halaman belakang rumah dan bermain basket sendirian. Ya, sejak berusia lima belas tahun, ia sudah kecanduan olah raga yang satu itu. Hingga akhirnya ia membuat lapangan basket pribadi di halaman belakang rumahnya. Bola itulah yang selalu menjadi teman setia bagi Jason saat merasa sepi atau gundah. Terkadang, bola itu juga menjadi korban emosinya yang meluap-luap. Seperti saat ini, ketika hatinya tengah dilanda kepedihan karena ulah sang ibu, Jason meluapkan emosinya melalui bola basket. Ia melambung-lambungkan benda bundar itu tinggi-tinggi, sambil berteriak. Ia juga melemparkannya ke ring beberapa kali. Dengan begitu, sedikit beban emosinya terasa berkurang. Setidak-tidaknya ada tempat pelampiasan baginya.

Akhirnya, karena sudah lelah, Jason terengah-engah. Ia terduduk di lapangan dan meratap, meraung, berteriak-teriak dengan keras. Meluapkan emosinya yang bergumal di dalam dadanya. Sementara itu, dari dalam kamarnya, Martha dapat mendengar suara teriakan putranya. Perlahan, perempuan berusia empat puluh lima tahun itu, mulai menangis pilu. Ia tahu, betapa pedih perasaan sang anak. Tetapi mau bagaimana lagi, ia sendiri memang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Itu semua demi kelangsungan hidup dan masa depan Jason juga. Oh, betapa getirnya hidup ini. Inilah nasibnya sebagai seorang single parent. Kalau masih bersuami, Jason tidak akan merasa kurang perhatian begini. Tentu ia akan melimpahkan kasih sayang dan waktunya hanya untuk putra semata wayangnya itu. Namun karena ia sendiri yang harus berjuang, terpaksa ia harus mengorbankan sang anak. Marthapun tidak ingin menikah lagi, tidak ingin anaknya mempunyai ayah tiri. Bagaimana ujungnya nanti, entahlah. Namun meski begitu, Martha tetap berharap Jason bisa mengerti posisinya suatu saat nanti.
* * *

To be continued...

Jason & JessicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang