Thirdteenth : Pengakuan Sang Mama

130 13 1
                                    

Ketika Martha pulang malam ini, ia melihat sang putra sudah terlelap pulas disofa ruang tengah. Pesawat televisi masih dalam keadaan menyala, sepertinya Jason lupa mematikannya. Martha mendengus sekilas lalu meraih remote control dan mematikan pesawat televisi. Sejenak diliriknya wajah sang putra, wajah Jason kelihatan pulas sekali. Martha duduk disamping putra semata wayangnya itu, dan mengusap wajah Jason penuh sayang. Karena merasa tidurnya terganggu, Jason menggeliat sejenak dan merubah posisinya. Martha tersenyum getir, ia tidak tega melihat sang putra. Selama ini, ia memang tidak pernah punya waktu untuk Jason barang seharipun. Tetapi itu semua karena ia terlalu menyayangi putranya itu. Semua itu dilakukannya demi masa depan Jason juga. Tak terasa, air mata berlinangan di pelupuk matanya. Martha tak mampu membendungnya, hingga akhirnya air matanya jatuh membasahi pipinya. Martha sesegukan dan membuat Jason merasa terganggu. Hingga akhirnya, pemuda itu membuka matanya perlahan. Sambil mengusap-usap matanya, Jason memperbaiki sikap.

"Mama sudah pulang," bisik Jason. Marthapun mengusap air matanya.

"Ya," sahut Martha.

"Kenapa menangis?"

"Tidak. Mama hanya sedih bila mengingat nasibmu. Maafkan Mama selama ini,"

"Sudahlah," tukas Jason mendengus gusar. "Mama sudah makan?"

"Sudah. Mama sudah makan dijalan, kamu bagaimana?"

"Aku juga sudah. Tadi ada bakso keliling yang lewat, maka aku membelinya. Mama tidak usah risaukan aku, aku sudah terbiasa hidup begini," ucap Jason. Martha tersenyum getir mendengar pengakuan sang putra. Ya, sebagai seorang ibu, ia merasa tidak pernah menjadi ibu bagi anaknya.

"Maafkan Mama Jason," bisiknya mulai berlinangan air mata kembali.

"Ma, yang kuharap sekarang, hanyalah pengakuan Mama tentang Papa. Apakah lelaki bernama Hartono itu adalah benar-benar ayahku? Jika iya, mengapa cerita tentang kematiannya berbeda dengan cerita perempuan yang mengaku istrinya itu?" tanya Jason serius. Ia memandang mata sang ibu dengan pandangan lekat. Sedangkan Martha terdiam, ia menemukan tatapan keseriusan di balik sorotan mata Jason.

"Mama akan jelaskan. Tapi Mama harap, kamu tidak salah paham mendengar ini," ujar Martha. Jason mengangguk yakin.

"Ya,"

"Begini Jason. Sewaktu kamu kecil, Mama sengaja mengirimkanmu ke Bandung untuk tinggal bersama nenek disana. Karena Mama tidak mau kamu melihat pertikaian yang sering terjadi di dalam rumah kita..." cerita Martha dengan mata menerawang. Di memori otaknya masih terekam jelas setiap peristiwa demi peristiwa yang telah dialaminya beberapa tahun yang lalu.

Kala itu, setelah melahirkan Jason, Martha dan sang suami mulai mengalami percekcokan dalam rumah tangga. Untuk itu, Martha pergi ke Bandung dan menitipkan buah hatinya itu dirumah sang ibu. Biarlah ia hidup bersama sang ibu, daripada harus melihat pertengkaran yang sering terjadi di dalam rumah tangganya. Martha takut, Jason mengalami trauma atau gangguan mental, atau lebih parahnya lagi, ia menjadi korban emosi kedua orang tuanya. Hal itulah yang ditakutkan Martha, maka, ia menitipkan Jason kepada neneknya.

Sementara hubungannya bersama sang suami tidak juga kunjung membaik. Mungkin Martha memang sedikit egois, karena sebagai seorang istri, ia mengharapkan penghasilan yang mapan dari suaminya. Sementara, si suami waktu itu hanya bekerja sebagai karyawan sebuah bank, dan memiliki penghasilan yang pas-pasan saja.

"Mas, kalau begini terus, kapan kita bisa kaya?" ungkap Martha kala itu.

"Sabar dong. Kau jangan menyudutkanku terus. Aku bukan hanya berdiam diri dirumah, aku sudah bekerja, mencari nafkah. Tetapi aku harap, kau jangan merongrongku seperti ini terus," balas sang suami mulai berang.

Jason & JessicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang