Seventh : Jason Pantang Menyerah

97 15 0
                                    

Setiba dirumahnya, Jason membanting pintu dengan keras. Hatinya remuk redam tatkala mengingat ucapan ayah Jessica tadi kepadanya. Tidak sepatutnya lelaki itu menilai keluarga Jason serendah itu. Meski ia terlahir dari anak seorang janda, dan juga selalu sibuk bekerja hingga tidak punya waktu untuk mengurus rumah dan anak, Jason bukanlah pemuda yang berandalan. Ia orang terdidik, mahasiswa, dan ia tidak terima mendapat hinaan sedemikian. Pemuda itu kesal sekali, dengan gusar ia membanting tas dan sepatunya sembarangan. Kemudian, iseng-iseng menyalakan pesawat televisi untuk menghilangkan pikirannya. Namun, tak satupun acara di televisi yang mencuri perhatiannya. Hingga akhirnya, Jason mematikannya kembali.

Apa yang harus dilakukan Jason kini? Diliriknya jam dinding sekilas, sudah hampir pukul sembilan malam. Ia tidak lapar, mungkin karena tadi sore makan mie ayam di pondok Pak Min, dan mungkin juga karena rasa kesal yang bergumal di dalam dadanya. Hingga membuat rasa lapar seolah sirna dari dirinya. Jason mendengus, Martha pasti pulang larut lagi seperti biasa. Jika ayahnya masih hidup, tentu Jason dapat bercerita kepadanya tentang perasaannya. Karena memang sang ibu tidak akan ada waktu untuk mendengar curahan hatinya. Namun apalah daya, sang ayah kini sudah tiada. Tidak ada tempat bagi Jason untuk berkeluh kesah.

Sekonyong-konyong pikirannya melayang kepada Jessica. Senyumnya selalu tersungging setiap kali mengingat gadis cantik itu. Rasa cintanya kepada Jessica tak pernah mau berkurang, bahkan setelah ia mendapat hinaan dari ayah gadis itu sekalipun. Entah kenapa, kepada Jessica rasanya Jason benar-benar merasakan cinta yang sebenarnya. Sebelumnya, ia sudah pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan beberapa orang gadis. Namun ada saja alasan bagi Jason untuk dapat melupakannya dan menghapus rasa cintanya. Tetapi Jessica, dia berbeda. Rasa cinta yang dirasakan Jason untuk gadis itu semakin lama semakin bertambah. Namun, haruskah rasa ini dipendamnya selamanya? Apakah Jessica akan menerimanya jika ia menyatakan cinta? Tidak ada salahnya dicoba, pikir Jason. Walau ayah gadis itu seolah tidak menyukainya, Jason pantang menyerah. Ia akan membuktikan kepada lelaki itu kalau ia pantas memiliki Jessica. Ia pantas mendapatkan Jessica. Sekonyong-konyong lamunannya buyar, karena mendengar ponselnya berdering pendek. Jason meraihnya, dan ternyata itu adalah pesan singkat dari Jessica.

Hai, sedang apa?, isi pesan singkat itu.

Sedang memikirkanmu, balas Jason.

Gombal. Ohya, maafkan ucapan papaku tadi ya, balas Jessica pula.

Tidak usah dipikirkan. Aku sadar, jika aku salah. Dan itu semua membuktikan bahwa papamu sangat menyayangimu, balas Jason kembali. Cukup lama tidak ada balasan lagi dari Jessica, hingga membuat Jason mengernyitkan dahi. Maka, ia mengirim pesan singkat lagi untuk gadis yang dicintainya itu.

Kenapa diam? tanyanya.

Aku sedang mencerna kata-katamu. Kamu sudah makan? balas Jessica kembali.

Belum. Perutku masih kenyang karena makan mie ayam tadi. Kau sudah makan?

Belum juga. Ohya, barusan aku menuliskan sebuah lagu lagi. Untukmu. Balas Jessica.

Ohya? Apa itu? balas Jason penasaran.

Besok akan kudengarkan padamu saat di kampus. Sudah dulu ya. Aku makan dulu. Sampai bertemu besok di kampus, balasan dari Jessica lagi.

Oke, balas Jason. Setelah acara berbalas pesan berakhir, Jason mendadak tersenyum. Ia jadi penasaran sekali dengan lagu yang sudah diciptakan Jessica untuknya. Kira-kira seperti apa lagu itu, pikir Jason. Tak berapa lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar di depan rumah. Jason yakin itu pasti Martha. Maka dengan sigap, ia ke pintu depan dan membukakan pintu bagi ibunya itu. Setelah pintu terbuka, Martha masuk ke dalam rumah. Sejenak ia heran melirik wajah sang putra yang tersenyum-senyum sendiri.

Jason & JessicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang