Delapan - Goodbye

1.7K 64 0
                                    

Senin pagi ini hujan. Sudah pasti tidak ada upacara yang menjadi ritual para siswa di setiap hari Senin. Dengan ini seluruh siswa memutuskan untuk membuat ritualnya masing-masing di kelasnya. Untuk kelas IPA sudah pasti guru-guru mereka sudah masuk di ruangan kelas berbeda dengan kelas IPS yang masih sibuk dengan kegiatan masing-masing mereka.

Berbeda dengan anak OSIS lainnya yang waktu kosong upacara mereka pakai untuk menyicil tugas OSIS mereka.

Dya berada di kelasnya. Kali ini dia duduk di bangku pojok hasil paksaan Dya terhadap Firman untuk duduk di bangku milik siswa laki-laki pentolan geng di sekolahnya.

"Gue denger-denger sih Dika bikin Dya patah hati. Tapi nggak tau gimananya mah ." Bisik Fina pada Mona teman sebangkunya.

"Riana juga nggak tau katanya. Gue pengen nanya, tapi dia lagi kayak macan gitu." Tambah Mona. Fina dan Mona mengangguk bersamaan lalu memperhatikan Dya yang sedang mendengarkan musik dari ponselnya sambil menatap jendela luar.
.
Dya tidak peduli jika kini dirinya tengah diperbicangkan. Itu hak mereka untuk membicarakan siapa saja. Menurut mereka.

Drrrtt drrrt drrrrt...

Tyas Kalista : Dy, ke ruang kelas atas yg kosong sekarang. Rapat.

Dya K Rinjani : Yoi

Dya melenggang santai keluar dari kelasnya, ia masih mendengarkan musik yang ia putar sejak tadi.

"Dy, lo kenapa sih??" Tanya Laras yang sudah merangkulnya dari belakang.

Dya mengerutkan alisnya sambil menatap Laras, "Kenapa apaan???" Tanya Dya santai sambil menaiki anak tangga sekolahnya.

Laras menarik nafasnya berat, "Kata Sita eh bukan, kata anak-anak OSIS kemaren  lo balik duluan ya setelah Dika ngajak lo ngobrol berdua." Jawab Laras sambil mengecilkan suaranya.

Dya menarik nafasnya berat, "Nanti ya Ras gue ceritanya. Pas pulang. Sekarang masih jam tujuh lewat sepuluh menit. Gue nggak mau rusak mood gue dulu, walaupun gue tau mood gue sebenernya udah rusak parah." Jawab Dya dengan suaranya sedikit serak. 

Laras menatap Dya dengan tatapan prihatin lalu menepuk pundak Dya beberapa kali.

"Udah nggak usah ngeliatin gue kayak gitu. Gue nggak pa-pa kok." Tandas Dya kepada Laras ketika tatapan Laras seakan mengasiani dirinya.

Laras hanya tersenyum getir. Keduanya masuk ke ruangan kelas kosong untuk rapat pagi ini.

"Langsung aja dimulai ya..." Ujar Tyas sambil menatap kearah Dya yang melenggang menuju bangku paling belakang.

"Dari Laras gimana konsep acaranya???" Tanya Tyas kepada Laras yang sebagai ketua pelaksana untuk acara hari bumi.

Laras berjalan menuju kedepan sembari tangannya membawa beberapa kertas susunan acaranya.

"Garis besarnya sih, kita tanam 1000 bibit pohon. Kalo misalnya kita nggak bisa tanam sesuai target, kita bisa nugasin anak kelas sepuluh untuk tanam sisa bibitnya buat lengkapin pelajaran PLH." Ujar Laras.

"Jadi makanya di kegiatan Hari Bumi ini kita minta partisipasi dari temen-temen dari semua ekskul buat ikut program tanam 1000 bibit. Dan acara siangnya di sekolah lebih ke kegiatan bersih-bersih aja sih." Tambah Laras aja.

"Oh iya, buat acara yang di Bihbulnya kita minta pecinta alam buat jadi tim pendahulunya bisa kan??" Tanya Laras sambil melemparkan pandangannya kearah Dika yang juga ikut rapat.

Dika mengangguk, "Bisa kok. Paling yang berangkat duluan gue sama anak-anak kelas sepuluh." Jawab Dika dengan datar.

Laras mengangguk, "Kalo gitu yang dari OSIS yang berangkat duluan, Tyas, Widi, Fedo, Arga, Hany, Dimas sama Dya ya." Ujar Laras menjelaskan lagi.

"Intruksi Ras!" Ujar Dya dari belakang sembari mengangkat tangannya. Semua yang ikut rapat sontak menoleh kearah Dya termasuk Dika.

"Ya??" Tanya Laras yang sudah menebak apa yang akan disampaikan oleh Dya.

"Gue nggak bisa jadi tim pendahulu Ras. Gue udah gantian sama Jeni, dia bisa kok. Jadi gue nanti yang pegang acara di lapangan." Jawab Dya dengan tegas, sorot matanya tajam, namun hatinya sebenarnya rapuh.

Laras melirik kearah Tyas. Tyas hanya mengangguk sekilas.

"Oke kalo gitu." Jawab Laras singkat. Dya mengangguk lalu duduk kembali di bangkunya.

Dika menatap Dya dengan tatapan bersalah. Sedangkan Dya hanya menatap lurus kedepan seakan memperhatikan Laras namun sebenarnya ia tau sepasang mata teduh yang dia sukai tengah menatap dirinya.

-

-
Dya keluar paling akhir setelah rapat OSIS diakhiri. Langkahnya ia percepat menuju toilet perempuan yang berada diujung tangga.

"Dy, kita perlu ngomong Dy..." Ujar Dika yang menahan tangan Dya ketika akan  masuk ke dalam toilet.

Dya menatap Dika, Dya rindu. Tatapan hangat dari mata coklat Dika selalu membuatnya jatuh cinta seperkian detik.
Cengkraman tangan Dika selalu membuat Dya merasa spesial.

Tapi tidak untuk hari ini.

"Apalagi Ka??" Tanya Dya setengah memohon. "Apa lagi yang mesti diomongin??? Gue cape Ka...." Gumam Dya lagi dengan nada lirih.

Dika perlahan melepaskan cengkraman tangannya, "Gue tau lo cape Dy. Gue tau banyak yang lo kerjain. Gue tau Dy, tapi..."

"Ka, bahkan sampe sekarangpun lo masih nggak ngerti kan???" Potong Dya.

Dika mengerutkan alisnya bingung.

Dya menarik nafasnya berat, "Gue cape Ka... Gue cape harus mendem semuanya Ka. Gue cape harus nutupin kalo gue biasa aja ke lo. Gue cape harus pura-pura nggak sayang sama lo Ka. Gue cape setiap kali gue liat lo, gue harus nahan semua perasaan gue yang dulu-dulu Ka..." Jawab Dya dengan mata berkaca-kaca.

Rasanya seperti ribuan paku menghujam dadanya. Sakit. Sakit ketika melihat Dya seperti ini.

"Dy...." Ujar Dika lirih sambil mengusap bahu Dya lembut.

Jika Tuhan mengizinkan Dika untuk menghentikan waktu sebentar, rasanya Dika ingin menghentikan waktu beberapa detik saja. Memeluk gadis dihadapannya, membiarkan ia meluapkan segala perasaannya.

Dya hanya tertunduk sambil terisak, "Ka, mulai sekarang gue mohon Ka.. Biasa aja Ka..." Pinta Dya dengan lemah.

Dika menggeleng namun bibirnya terkatup rapat. Namun perlahan Dya melepaskan tangan Dika dari bahunya lalu meninggalkan Dika.
-
-
-
-
Hari ini anak OSIS sudah siap dengan acara Hari Bumi mereka. Dya juga sudah siap menggantikan posisi Jeni.

"Dy, tolong ke ruang pecinta alam siapa yang bisa nemenin anak-anak buat kontrol yang di lapangan depan." Ujar Tyas pada Dya yang sedang membaca susunan acara.

Dya mengangguk lalu menuju ruangan pecinta alam. Sebenarnya batinnya belum siap tapi ini memang yang harus ia lewati.

Dya sampai di ruangan pecinta alam. Terlihat kelas sepuluh dan sebelas berkumpul. Termasuk Dika.

"Sorry ganggu, ini kata Tyas dari kalian ada yang bisa buat ikut nemenin di lapangan depan??" Tanya Dya yang mencoba biasa saja namun hatinya bergetar karena Dika menatapnya dalam.

Dika maju kearah Dya membuat dirinya ketar ketir.
"Boleh liat susunan acaranya??" Tanya Dika dengan nada suara yang menjadi suara favorit Dya.

Dya menyerahkan susunan acara yang ia bawa. Dika menerimanya dengan masih menatap Dya, namun mata Dya malah melemparkan pandangannya ke penjuru lain.

"Ada Bagas sama Lukman. Gue nggak bisa, gue tim pendahulu." Ujar Dika masih menatap Dya. Namun Dya masih pura-pura tak peduli. Ah Dya!!! Pekik Dika dalam hati.

Dya manggut-manggut, "Oke... Kalo gitu gue tunggu diluar. Thank's ya.." Ujar Dya menatap Dika sekilas lalu meninggalkan ruangan itu diiringi tatapan mata seruangan yang penuh dengan pertanyaan.

Dika menatap Dya yang melenggang dihadapannya. Entah kenapa semuanya terasa hilang saat Dya memutuskan untuk pergi dari bukit itu.
Dirinya merasa Dya sumber dari semangat dirinya.
-
-
-
-
Lanjut chapter 9

TentangDyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang