How Could You?

1.5K 169 2
                                    

Never thought a love like yours would leave me all alone.

***

"Thank you." Aku berpamitan pada salah satu kru Justin yang mengantarku ke hotel. Aku sudah tidak mau tahu lagi ada apa diantara Justin dan Selena. Aku langsung meminum obatku dan beristirahat.

Aku mengambil handphoneku di tas dan menelpon ibu.

"Hai, sayang. Ada apa? Tumben sekali anakku satu-satunya menelponku." Sapa ibu ketika panggilan tersambung.

"Aku hanya rindu ibu." Kataku lemas. Aku sudah membayangkan reaksi ibu kalau mendengar suaraku ini.

"Kau pasti telat minum obat, kan? Kau ini Caitlin. Kenapa bisa sampai telat, sayang? Apa kau pingsan? Sekarang kau dimana ini? apa perlu ibu susul?" Benar saja. Dia panik setengah mati.

"Aku sekarang berada di hotel. Aku di Sacramento. Aku ingin bertemu dengan Justin. Aku lupa minum obatku dan di arena aku pingsan. Lalu aku diantar kesini dengan salah satu kru. Jangan khawatir, bu. Aku sudah minum obatku. Aku janji tidak akan mengulanginya." Aku menjelaskan sedetail mungkin agar ibu tidak panik.

"Oh... baiklah. Anak ibu ini mudah sekali pergi-pergi keluar kota tanpa bilang lagi. Ibu percaya padamu. Hati-hati." Panggilan pun berakhir. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata ibu tadi.

Sekarang sudah jam 7 malam. Konser akan di mulai sebentar lagi. Aku tidak akan datang kesana karena Pattie melarangku. Tubuhku belum sepenuhnya fit. Karena aku telat minum obat. Sebuah vitamin dalam bentuk tablet yang kuminum sejak kejadian 3 tahun lalu.

Kejadian dimana kepalaku terbentur oleh kayu besar saat aku melintasi pembangunan gedung. Semenjak itu aku jadi sering sakit kepala. Kata dokter aku harus meminum obat ini agar kepalaku tidak sakit lagi dan badanku menjadi fit.

Sekali aku telat meminum obat, akibatnya seperti hal yang terjadi di arena. Aku pingsan.

-

Aku tidak bisa tidur. Sekarang sudah hampir jam 3 pagi. Aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi. Tega sekali Justin tidak memperhatikanku. Malah dia bersama Selena.

Drrtttt... drrtttt...

Aku melihat layar handphone. Oh Justin menelpon.

"Hmm.." aku malas sekali berbicara dengannya.

"Hey." Sapanya singkat

"What?" Balasku singkat juga.

"What are you doing now?" Untuk apa sebenarnya dia bertanya tanya?

"Nothing. I'm just... you know i'm watching tv," kataku berbohong. Toh, dia tidak tahu juga.

"Um... i miss you." Aku membulatkan mulutku sambil berkata oh.

"Well... i bet you decided not to talk to me. So why we up 3 A.M on the phone?" Tanyaku kasar. Mencoba membalas apa yang sudah dia lakukan padaku tadi.

"I'm outside your room." What? Dia didepan kamarku?

"So what?" Kataku pura-pura tidak peduli.

"Open up please, babe." Tanpa pikir panjang, aku langsung membuka pintu dan melihat Justin berdiri sambil memegang handphonenya. Lalu kupersilahkan masuk.

"Sorry." Hanya itu yang dia katakan setelah beberapa menit hening.

"Sorry i yelled at you." Dia tertunduk lemas.

"No it's fine. Salahku datang ke konsermu tanpa bilang." Gantian aku yang tertunduk lemas.

Justin memegang tanganku tanpa ragu. Dan akupun tidak mencegahnya. Keheningan menemani kami, lagi.

"I... i love you, Caitlin. But ... i think we need to break." Aku langsung menarik tanganku dan menatap lekat matanya.

"What do you mean by we need to break? Untuk apa Justin? Apa kau sudah bosan denganku?" Aku berteriak. "Oh aku tahu Justin, kau ingin mengenalnya lebih jauh lagi sampai kau yakin dia orang yang pas untukmu? Iya?"

"Apa yang ada pikiranmu sekarang Justin? Kau tega menggantungkan hubungan kita demi wanita itu? Kau baru mengenal dia Justin. Ka-"

"Dia masa laluku. Aku mengenalnya dengan baik." Justin mencela omonganku. Sebegitu menarikkah Selena?

Aku menjenggut rambutku dan berjalan mengitari Justin. Aku menangis tersedu-sedu. Yang dia lakukan hanya berdiri mematung.

"Aku sadar, selama ini aku bukanlah orang baik untukmu. Tapi kau membuat perubahan dalam diriku. Kau merubah seorang gadis yang hobi ke klub malam menjadi seorang gadis yang taat agama. Kau merubahku Justin. Dan aku tidak mau bersama orang lain, selain kau." Aku memegang tangannya erat dan aku menatap matanya. Namun pandangannya entah kemana.

"I can't. Aku tidak merasakan hal yang sama. Aku sudah tidak lagi merasakan cinta diantara kita." Aku berlutut di hadapan Justin ketika aku mendengar pernyataannya.

"Fuck you. Fuck you Justin. Apa kau tahu perasaanku saat kau dikabarkan dekat dengan wanita lain? Apa kau tau perasaanku saat kau terang-terangan menjadi a bad boy, dengan pergi ke klub malam, meminum minuman beralkohol, merokok, menghisap ganja? You have no idea what i felt. Namun aku masih bertahan Justin. Aku bertahan karena aku tahu kau orang yang tepat untukku. Kau masih seperti Justin 6 tahun yang lalu." Aku meronta-ronta dan memeluk kakinya. Aku tidak mau dia meninggalkanku.

"You still on my top list." Aku mulai berdiri dan berjalan menuju kasur untuk duduk.

"Please, Caitlin. Just... just let me go." Katanya dengan nada memohon.

"Apakah akan semudah itu melepaskanmu setelah 6 tahun ini? 6 tahun itu tidaklah sebentar, Justin." Kataku mencoba untuk tegar. Namun berakhir dengan tangisan yang mengalir deras.

Aku menghela nafas, "Baiklah. Kalau ini maumu, yang terbaik untuk kita, kita tidak usah break, kita sudahi saja hubungan yang tidak berguna ini. Terima kasih Justin. Thank you for everything you've done to me. Thanks for anything shit happened for a past 6 years. We can't hold this fucking shit any longer. Salah satu dari kita sudah tidak merasakan hal yang sama." Aku berjalan kearah pintu dan mempersilahkan Justin untuk keluar dari kamarku.

Dengan berat, dia keluar dari kamar tanpa berkata sepatah katapun.

------

Sorry bahasa yang aku pakai disini mungkin terlalu agak kasar. But, maybe you guys like it? Don't forget to give a feedback :)

(Finished) ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang