We Meant To Be [Special 50 Parts]

1.4K 124 1
                                    

I will never try to deny that you're my whole life. Cause if you ever let me go, i would die.

***

Aku berjalan menyurusi Hell's Kitchen. Sabtu ini kuisi dengan berjalan kaki. Hitung-hitung berolah raga. Aku memasang headset ku dan mulai menyalakan lagu.

Aku menatap lurus ke jalan dan tidak mempedulikan sekitar. Aku masih membayangkan kejadian waktu itu. Matt menyatakan cintanya padaku. Entah apa yang ada dipikirannya. Semenjak itu, hubunganku dengan Matt merenggang. Namun tidak dengan Foggy dan Key. Aku masih berhubungan baik dengan mereka. Walaupun aku sedikit menjauh.

"Caitlin? Are you alright?" Suara samar itu memanggil namaku. Aku langsung menoleh kebelakang dam membuka headsetku. Matt.

"Yes," jawabku singkat. Matt memegang tanganku lalu kutepis. "You dont have to worry. I'm fine." Sedari 2 hari yang lalu, saat apartemenku kemalingan, dia sibuk meneleponku dan terus menanyai kabarku.

"I'm gonna go." Aku mencoba berjalan kembali dan Matt mengikutiku.

"I'm gonna come with you." Matt menarik tanganku. Apa-apaan pria ini?

"No." Aku berteriak dan Matt melepaskan tangannya. "I'm not yours to protect." Aku berjalan meninggalkan Matt dan beberapa orang memperhatikan tingkah kami.

***

"Caitlin, how you doing?" Tanya Scooter saat dia meneleponku tadi.

"I'm great." Jawabku singkat namun santai.

"Um ... Justin needs you right here right now." Aku hanya diam mendengarnya. Hubunganku dengan Justin jadi mulai merenggang karena dia meninggalkanku waktu itu. Dan Justin pun tidak meminta maaf padaku. Seperti tidak ada apa-apa. Jadi ... aku dan dia tidak sering berbicara lagi.

"Why?" Tanyaku singkat. Aku mencoba untuk berbicara sesingkat mungkin karena sebenarnya aku malas menjawab panggilan dari Scooter.

"Because he's missing you, Caitlin. He's sick and weak without you. He ... he is unwell right now."

"I saw him on tv, live. He's fine, fresh, and handsome." Aku baru saja menyalakan tv untuk melihat berita dan melihat Justin sedang diwawancarai di sebuah acara TV. Tidak ada yang aneh darinya.

"I will see him, Scott. Later, not now." Aku langsung mematikan panggilan. Mudah sekali Justin menyuruh Scooter untuk berbicara tentang hal ini. Padahal dia bisa sendiri berbicara padaku.

Aku langsung memakai sepatu hak dan bergegas ke kantor. Aku hampir telat!

-

"Hey my beautiful, Ms. Bieber," sapa Key saat aku sudah sampai di meja kerjaku. Aku hanya tersenyum dan mulai melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.

"What happen between you and Matt?" Key memasang muka yang bingung. Aku menoleh sekilas dan memutar bola mataku. Lalu aku fokus kembali ke layar komputer.

Key mencolek tanganku berulang kali. Dengan malas aku menatapnya kesal dan dia berhenti. Dia hanya tertawa kecil lalu memalingkan wajahnya ke layar komputernya.

Drrtttt ... drrtttt ...

Aku melihat ke layar handphone dan tertera nama Justin. Aku ragu mau menjawab atau tidak. Kudiamkan beberapa detik dan akhirnya aku menjawabnya.

"Babe ..." Kudengar suaranya yang lemas. Aku masih tidak peduli.

"What?" Tanyaku singkat.

"Babe ... come here, please?" Justin memohon dengan suara lemasnya. Hatiku langsung sedih mendengarnya. Jantungku berdegup kencang takut terjadi sesuatu dengannya.

"What's happening Justin?" Aku berkata dengan paniknya.

"He got fever and he's shivering." Suara Scooter mengagetkanku.

"Go get him to the hospital," kataku sedikit berteriak dan mengundang beberapa mata.

"He is only want you to be on his side." Scooter tak kalah berteriak padaku. Aku terdiam.

"Aku sudah menyiapkan penerbanganmu untuk hari ini jam 10." Aku melirik jam tangan dan sekarang sudah jam 09:20. "Kau tinggal kebandara dan kau akan bertemu dengan orang yang kusuruh."

Aku hanya menelan ludah. Bagaimana aku mau minta ijin?

"Babe come here just stay by my side." Lalu panggilan pun terputus. Aku menghapus air mataku yang sudah mengalir deras dipipiku. Bagaimana kalau Justin kenapa-kenapa? Ah persetan dengan kerjaku.

Aku langsung keluar gedung dan meninggalkan Key yang berteriak namaku dari tadi.

Aku mencegat taksi dan menuju bandara.

-

Aku membuka pintu kamar dan melihat Justin tertidur lemas dan tubuhnya ditutupi dengan selimut tebal. Aku berjalan perlahan dan duduk disampingnya.

Justin menoleh dan tersenyum lemas. "Hey babe finally you're here." Suaranya lemas sekali. Aku mengangguk lalu mencium keningnya. Bibirku merasakan panas. Aku mengelus rambutnya pelan.

"Kau sudah minum obat?" Justin menggeleng pelan. Aku melotot padanya namun dia hanya tersenyum pelan. Aku mengambil obatnya dan menyuruhnya untuk minum. Dia meminumnya lalu menatapku.

"Kau tidur ya sekarang, pacarku." Aku mengelus pipinya yang panas. Ya Tuhan, mengapa pria yang enerjik dan tidak ada lelahnya bisa sakit seperti ini. Dia mengangguk pelan lalu mencium bibirnya yang panas juga.

Dia memejamkan matanya dan sekarang aku menjaganya. Kulihat pintu kamar dibuka dan masukklah Scooter, Pattie, Jeremy, lalu yang membuatku makin heran, ayah, ibu dan Christian juga ada disini. Mungkin mereka mengkhawatirkan Justin juga. Aku hanya tersenyum menatap mereka satu persatu lalu fokusku pada Justin.

Aku mengelus rambutnya yang acak-acakan. "Kulihat kau tadi di acara tv masih sehat dan ceria, kenapa sekarang kau jadi sakit seperti ini?" Kataku berbisik ke telinganya.

Sedetik kemudian mata Justin terbuka.

"Kau mau apa?" Tanyaku cepat. Dia hanya menunjuk gelas di meja. Dengan sigap aku mengambil gelas itu dan memberikannya ke Justin. Setelah selesai aku mengembalikannya lagi.

"Caitlin ...," ucapnya pelan. Aku langsung menolehnya.

"What babe? Do you need something else?"

"Umm ..." Justin terlihat mengambil sesuatu dibagian pahanya. Mungkin dia menggaruk pahanya yang gatal.

Lalu dia mengeluarkan cincin. Cincin yang asing dimataku.

"Will you marry me?" Justin menyodorkan cincin tersebut kearahku.

Aku menatap Justin lekat lalu menatap semua yang berada diruangan ini satu persatu. Mereka semua tersenyum dan mengangguk, kecuali Christian. Dia berteriak tanpa suara 'yes' berulang kali. Lalu aku menatap kembali Justin. Jantungku rasanya berhenti berdetak dan aku tidak bisa bernafas lagi. Inilah saatnya. Saat yang kutunggu-tunggu selama ini. Justin terlihat menunggu jawabanku dan sudah pasti seisi ruangan ini.

"Yes." Aku menutup mulutku dan mulai menangis. Justin mengambil tangan kananku dan memasukkan cincin ke jari manisku.

Semua orang seketika bersorak dan terdengar ledakan confetti. Kertas-kertas berwarna-warni berterbangan di udara. Lalu Justin menciumku.

------



Thanks for reading. Ini part terpanjang sepanjang cerita ini dibuat. Tidak terasa sudah 50 part cerita ini dibuat (diluar pemberitahuan). Terima kasih banyak sudah menjadi pembaca setia untuk cerita ini. Maaf apabila cerita ini kurang berkenan di hati pembaca. Dan terima kasih bagi yang sudah mau memberi vote dan komentar. Terima kasih sekali lagi. Mungkin kalian mau memberi masukan dan saran supaya aku bisa lebih baik lagi?

Apa kalian setuju tentang percakapan di cerita ini yang bilingual (dua bahasa)? Karena penulis ingin memperdalam bahasa inggris dan mencoba sesuatu yang lain. Kalau kalian dirasa keberatan bisa mengajukan melalui komentar.

Terima kasih banyak sekali lagi

Salam,
Reeeadmeee

(Finished) ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang