14b

192 4 2
                                    

Anin membuka kulkas yang ada diruang makan, mencari minuman apa saja yang tersedia. Dari kemarin sore gadis cantik ini tidak ada selera makan minum dan hanya berdiam diri dikamarnya.

Ia tuangkan orange jus kedalam gelas dalam genggamannya kemudian meminumnya sedikit saja dan meletakan gelas diatas meja makan.

"Ini?" Desis Anin, pandangannya tertuju pada 1 piring bekas makan malam. Sebenarnya ada 2 piring dengan posisi sejajar namun piring yang sebelah kiri sangat menarik perhatiannya. Mungkin jika letak sendok dan garpu terbalik menyilang sudah biasa, gelas bekas minum yang diletakan di tengah-tengah piring antara sendok dan garpu itu adalah kebiasaan yang jarang ditemui dan selama ini hanya Ervinlah satu-satunya orang yang mempunyai kebiasaan seperti itu.

"Gak menyisakan bekas makanan, gak menyisakan air bekas minum. Siapa orangnya yang memiliki kebiasaan yang sama persis dengan Ervin. Siapa cowok yang ada dikamar kak Liu?"

"Lo di sini" Liu datang menghampiri adiknya.

"Kak?" Anin menunjuk piring bekas yang sedang jadi bahan perhatiannya.

"Kenapa? Mau lo cuciin?" Liu so' polos sedangkan batinnya sibuk merutuki kecerobohannya, seharusnya dia hati-hati dengn hal-hal kecil semacam ini.

"Ya enggak lah kak... ah sudahlah gak usah dipikirkan!" Lontar Anin, ia bergegas pergi meninggalkan Liu dengan seringai anehnya.

"Langkah berikutnya telah dimulai, haram kebahagiaan mewarnai hidupmu Anin, akan gue bangun neraka diantara cinta kalian dan itu akan terus berlanjut sampai papah mau bersujud di bawah kaki mama memohon ampunan" seulas senyum bernadakan dendam mewarnai lekuk wajah tampan pamuda itu.

Liu mengeluarkan phonselnya, menghubungi Endra untuk mengatakan sesuatu.

"Lain kali kalau Anin ngajak lo ke apartement gue, pastikan gue tahu sebelum lo mengantarnya" tegasnya dan langsung menutup sambungan phonselnya.

Sementara Endra cuma bengong saja menatap layar phonselnya, ada apa lagi dengan Liu? Selalu begitu memberi ultimatum tanpa dia mengerti apa tujuannya.

Sampai Anin datang, masuk mobil dan duduk di sampingnya tidak dia sadari.

"Apa yang lo perhatiin dari layar phonsel yang gelap?" Anin menepuk bahu Endra.

"Bukan apa-apa" Endra menoleh sekikas kearah Anin "Pulang ke rumah atau ke tempat lain dulu?"

"Ke rumah" sahut Anin singkat, ia pejamkan kedua bola matanya karena mulai merasakan sedikit pusing di kepalanya, semenjak kemarin belum makan.

Setengah jam telah berlalu dan Endra mengendarai mobil bukan menuju arah pulang. Entah atas dorongan apa? Saat ini Endra memberanikan diri membawa Anin ketempat yang belum pernah Anin kunjungi. Beberapa hari ini tidak pernah sekalipun lelaki itu melihat senyuman manis Anin, semua keceriaannya hilang seketika semenjak merasa kehilangan kekasihnya.

"Untuk apa lo bawa gue ke sini?" Tanya Anin setelah membuka mata dan menyadari sekarang dimana ia dan Endra berada. Bukit yang ringgi dan saat melihat ke bawah akan mengerikan dengan lamping yang sangat curam.

Endra tidak menghiraukan pertanyaan Anin, dia turun kemudian membukakan pintu mobil untuk Anin.

"Gue gak suka tempat sepi kaya gini" protes Anin, ia tidak mau turun.

"Untuk sekedar berdiri di sana dan berteriak sekeras mungkin, itu akan mengurangi rasa gundah non" lontar Endra.

Sejenak Anin terdiam lalu dengan enggan ia turun dan mengekori Endra yang melangkah menuju ujung bukit.

Endra menghentikan langkahnya saat mendengar erangan suara Anin. Di dapatinya gadis itu tengah memegangi ulu hatinya dan matanya berair seperti menahan agar tidak muntah.

"Nin kamu kanapa?"

"Perut gue salit banget dan... uooo, heh... pulang! Kepala gue pusing"

Endra cepat membimbing tubuh Anin kembali memasuki mobil dan segera berlalu dari tempat itu.

*****

"Kak hentikan!" Lirih Ervin ketika Liu menindihnya dan mencium bibirnya di atas sofa.

"Diam!, pelajari dan nikmati saja" Liu kembali mengecup bibir seksi Ervin dengan gerakan lambat, memperhalus gerakannya agar Ervin dapat merasakan sensasi lain atas perbuatannya. Namun Ervin malah merasa tersiksa dan jijik, menganggap Liu sudah gila.

Ervin mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong tubuh kekar yang tengah menguasai dirinya.

"Kenapa biasanya juga lo diem?" Protes Liu

"Kak boleh meminta atau menuntut apa pun dariku tapi jangan kaya gini terus! Kesalahan terbesar apa yang udah dilakuain Anin ke kakak sampai ia harus menebusnya dengan cara sehina ini" setelah terbebas dari kungkungan Liu Ervin pindah duduk di tepi ranjang.

"Apa yang gue lakuin ke elo saat ini gak ada hubungannya dengan Anin, ini murni perasaan gue ke elo" Liu menyandarkan punggungnya ke jok soffa, sorot matanya yang meneduh menuntut satu kepercayaan dari Ervin.

Ervin mengacak rambutnya prustasi, harus bagaimana bersikap? Terlalu jauh dirinya terjebak dalam kehidupan keluarganya Liu. Akan lebih baik jika Liu menganggapnya musuh ketimbang memanjakannya seperti perempuan yang sangat dipujanya. Memang apa yang diperbuat Liu padanya selama tidak lebih dari sekedar memeluk atau menciumnya. Namun Ervin sangat muak dan benci, bagaimana bisa dia yang sangat mencintai Anin harus diperlakukan begitu oleh seorang laki-laki.

"Gue gak akan ngurung lo di sini, lo tahu apa akibatnya jika selangkah saja keluar dari pintu apartemen ini" Liu bangkit, melangkahkah menuju kamar mandi.

Ervin tertegun, saat ini ia merasa sangat tertekan, bingung langkah apa yang harus dia pilih? Berdiam diri mengikuti kemauannya Liu atau kabur menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan Nayla atau menemui ibunya yang sudah pasti sedang mengkhawatirkannya atau menemui Anin yang sangat ia rindukan kehadirannya atau bertemu dengan Endra kakaknya, membeberkan segala beban yang selama ini dia sembunyikan darinya.


TBC....





PerangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang