Si baru Pamit tanpa Pesan

325 18 2
                                    

Aku terduduk di atas bukit sudut pandangku sendiri. Ya, sendiri. Kemarin waktu, sempat ada sosok manusia yang menemani. Dan itu menyenangkan untuk bisa tidak merasa sendiri dan dicintai.

Kami berbagi banyak hal. Bahkan, aku bisa melihat sesuatu dari sudut pandangnya. Walau sedikit ada argumen kecil, itu bukan hal fatal untuk berpisah, kalau menurutku.

Namun tiba-tiba saja, ia pulang tanpa pamit. Ia pergi tanpa pesan. Tanpa surat, kecup pipi atau tetes air mata. Terpukul bukan main jiwaku  yang harus menerima kenyataan bahwa aku tidak memiliki sosok pecinta. Seperti tulang rusukku keluar dari tempatnya. Sakit.

Aku sempat hancur. Enggan melihat apa yang bisa dilihat dari atas bukit. Enggan menoleh ke segala arah. Namun lambat laun, aku mulai bisa menerima apa yang ada dan menjalani memandang lagi sebagaimana mestinya.

Mungkin, karena aku berlapang dada, waktu berbaik hati memberikanku teman untuk berbagi dan dicintai lagi oleh seseorang. Senang, sungguh kesenangan membuatku melupakan ia yang pamit tanpa pesan. Ditambah, sosok si baru lebih dingin. Bukan, bukan es. lebih ke air. menyejukan.

Kebersamaanku dengan si baru berjalan sangat harmonis. Tidak pernah aku merasa ditemani dengan diberi rasa nyaman yang senyaman ini hingga aku tak mengingat bahwa; waktu sangat sukar untuk melupa.

Dengan bengisnya, waktu mengembalikan lagi ia yang pamit tanpa pesan saat aku sedang nyaman-nyamannya bersama si baru.

Kesal, sungguh kesal. Aku memaki, mencaci dan bahkan hampir memukul waktu. Sayangnya aku tak bisa hingga memukulnya.

Sebelum waktu pergi dengan meninggalkan segala problematika yang dibawanya, ia sempat berucap 'sesuatu yang memang tertakdir pulang, akan pulang bagaimanapun caranya. bergitupula yang tertakdir untuk pergi.'

Kata-kata itu menohok dan membuatku terganggu beberapa saat. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tetap berbagi dengan si pamit tanpa pesan dan membiarkan si baru pulang ke rumah yang memang dibuat untuknya.

Memang, si baru sangat membuatku nyaman dan merasa sangat dicintai. Tapi tidak mengembalikan rusukku yang tertarik hilang. Sementara kedatangan ia yang pamit tanpa pesan memang membuatu ingin menamparnya, namun ada rasa utuh setelah ia kembali.

Walau sulit melepas si baru, tetap saja  inilah keputusan paling benar untuk dilakukan menurutku. Si baru memiliki hak untuk dicintai tanpa terbagi, dan ia yang pamit tanpa pesan juga berhak dibukakan pintu sekali lagi.

Kuharap si baru akan mengerti seiring berjalannya hidup yang ia jalani. Aku percaya, si baru akan menemukan orang yang merasa bahwa si baru adalah bagian dari jiwa dan raganya.


Aku menyayangimu dengan sama walau kau sempat diculik oleh waktu,

Dan aku juga menyayangimu dengan cara melepas dan tidak egois, pesinggah relung hati.


Terimakasih banyak, Ia Yang Pamit Tanpa Pesan dan Si Baru.

Titik dan KomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang