Tangannya terus menggenggam tanganku protektif, ia tidak biasanya seperti ini. Sedari tadi banyak wanita yang melihati Zayn seperti sedang melihat Justin Bieber lewat dihadapan mereka. Dengan cepat aku merangkul pinggangnya lalu menyenderkan kepalaku di lehernya manja dan ia merespon hal yang sama dan itu membuat para wanita tadi menatapku sinis, apa yang salah, ia kekasihku.
"Jika kau cemburu dan ingin memanasi mereka, aku bisa mencium bibirmu sekarang."
Aku tertawa ringan mendengar ucapannya yang diselingi nada humor, ternyata ia mengerti maksudku. "Tidak perlu, sayang." Dengan cepat aku mengecup rahangnya yang membuat para wanita itu berbisik membicarakan kami.
"Kita akan kemana?"
Zayn mengangkat kedua bahunya tanpa memandangku. "Apa ada film yang seru hari ini? Rasanya aku rindu dengan kursi bioskop dan popcornnya, bagaimana kalau kita menonton saja?" Saranku dan ia kembali mengecek ponselnya yang berdenting lagi, terus saja begitu.
"Zayn, kau tidak seru."
Dengan malas, aku melepas rangkulanku lalu pergi meninggalkannya lebih dulu. Rasanya aku sedang lapar, lebih baik aku makan di restoran cepat saji itu. "Hey, kau mau kemana, sayang? Jangan tinggalkan aku, jika kau hilang bagaimana?" Aku menghiraukan suara Zayn lalu memasuki area tempat makan cepat saji tersebut.
"Tidak, kau tidak akan makan disini. Aku tidak suka makanan cepat saji–"
"Kalau begitu kau pergi, aku sedang ingin makan ini. Urusi ponselmu saja, aku tidak peduli."
Aku meninggalkan Zayn yang terdiam dan langsung menuju meja pemesanan, persetan dengan ponselmu Zaynie. Saat aku sudah memesan makanan, aku mencari meja yang kosong. Aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan Zayn, ia benar-benar meninggalkanku?! Bajingan menyebalkan, ini benar-benar tidak layak disebut kencan.
Lima belas menit berlalu, makananku sudah hampir habis dan Zayn tidak kembali, yang benar saja. Dengan malas, aku mengambil ponselku dan menghubungi nomer ponselnya.
Sibuk? What the heck?!
Jangan-jangan ia sedang menghubungi selingkuhannya yang sedang hamil itu, sial. Ia sudah membuatku tidak nafsu untuk menghabiskan kulit ayam kesukaanku.
Tak lama, ada yang menutup kedua bola mataku dengan dua telapak tangan. Zayn. Tidak lucu dan tidak seru, dan juga tidak mengejutkan. "Lepaskan kedua tanganmu dari wajahku, bodoh." Tegurku malas tanpa mau melihat wajahnya dan memberinya senyum.
"Kau marah padaku? Astaga, maafkan aku. Tadi aku ke bioskop dan membeli tiket ini untuk mu, jangan marah padaku, kumohon."
Aku melihat ia membeli dua lembar tiket film bergenre romantis, membosankan tapi aku menyukainya. Aku tetap menatapnya datar, lalu melanjutkan makanku yang tertunda. Zayn terus menatapku menunggu jawaban, tapi aku tetap diam.
"Jawab aku atau aku akan menghabiskan kulit ayam mu itu?"
Aku menatapnya tajam lalu memukul tangannya yang diam-diam sudah menyentuh kulit ayamku, sialan. "Ya ya ya aku sudah memaafkanmu, sekarang singkirkan tanganmu sebelum aku marah lagi kepadamu." Zayn menyingkirkan tangannya dari kulit ayamku, tapi dengan cepat mengambil beberapa batang kentang gorengku.
"Zayn!"
-
"Kita akan kemana lagi? Film nya akan dimulai satu jam lagi, itu terlalu lama untuk menunggu."
"Kau ingin membeli pakaian atau sepatu baru? Kau sudah lama tidak keluar untuk berbelanja, dan itu semua salahku."
Suaranya penuh dengan rasa penyesalan yang ia buat-buat, kuyakini ia tidak merasa bersalah. Setelah aku menimbang-nimbang, kurasa itu tidak perlu. Bajuku yang terakhir kubeli saja belum sempat kupakai karena aku tidak keluar rumah, dan itu semua ulahnya.
"Tidak, baju yang kau belikan untuk mu waktu itu belum kupakai, kurasa tidak perlu."
Selagi melihat-lihat benda yang dipajang di balik jendela kaca, aku tak sengaja melihat benda yang membuatku teringat kembali kepada ibuku, ibu kandungku. Sebuah mainan bola salju yang di dalamnya ada miniatur seorang ibu dan anaknya sedang berpelukan penuh kasih, benda itu sama persis dengan benda yang sudah kuhancurkan beberapa bulan lalu setelah aku memutuskan untuk menetap disini.
"Kau menyukainya? Jika kau menyukainya, ayo kita akan membelinya sekarang."
"Bahkan aku sangat membenci melihat benda di dalam bola salju itu." Gumamku pelan, semoga Zayn tidak mendengar ucapanku. "Apa?" Untung lah ia tidak mendengar ucapan tidak pantasku, tapi menurutku pantas-pantas saja untuk wanita sepertinya. "Tidak ada. Zayn, apa kau lapar? Kau belum makan siang hari ini, dan kau tadi hanya memakan beberapa batang kentang gorengku, mau makan?" Alihku dan ia hanya mengangguk menyetujui.
Kami putuskan untuk makan siang di food court yang berada di lantai paling atas mall ini, sebenarnya yang makan hanya Zayn dan aku hanya menemaninya. Zayn menyuruhku untuk duduk menjaga meja yang akan kami tempati dan ia akan memesan makanan pilihannya.
Sembari menunggu Zayn, aku mengedarkan pandanganku dari ujung hingga ujung tempat ini. Tapi saat aku menatap ruas bagian kanan, mataku tak sengaja menangkap keberadaan Niall dengan seseorang pria menggunakan kemeja garis-garis yang kukenali yang sedang membelakangiku, tapi aku tidak ingat. Di lihat dari rambutnya, sepertinya pria itu sudah tua, warna putih bercampur dengan rambut hitamnya menimbulkan kesan keabuan di rambutnya.
Sepertinya ia sedang membicarakan hal yang serius dengan pria tua itu. Detik selanjutnya, Niall kebetulan menangkap mataku dan ia terlihat menegang di tempatnya. Dengan cepat ia dan pria itu pergi meninggalkan tempat itu begitu saja, mencurigakan.
-
Tbc guysssss heheeh
Duh part ini gue bagi dua dan bakal di post setelah komen ini 15+ bisa gak ya? .-.
Soalnya kalau triple update sesuai harapan gue itu gabakal keburu soalnya panjang2 tapi karena gue baik gue jadi triple update, tapi triple updatenya bagian ini yang dibagi dua :|
besok gue usahain dabel panjang kya part sebelum ini. Maap yang kecewa part ini gada specialnya. Next full zarbara moments yas <33
See ya beberapa jam kedepan ;)))
KAMU SEDANG MEMBACA
Harlot | z.m
FanfictionBerawal dari kehancuran keluarganya hingga menjadi pria berdarah dingin yang haus akan seks dan menyiksa, itu lah yang dialami oleh Zayn. Barbara yang menjadi jalang sekaligus kekasihnya itu akan menyadari apa yang di lakukannya itu salah. Barbara...