f o u r t y s i x

4K 260 66
                                    

Sepanjang pagi buta, aku hanya menangisi dan merenungi apa saja yang sudah terjadi padaku. Menekuk kedua kakiku dan menenggelamkan wajahku di kedua telapak tanganku. Telapak tanganku mendingin, suhu tubuhku meninggi dan bibirku mengering.

Aku putuskan untuk mandi ke sungai yang berada di bagian bawah hutan. Membawa perlengkapan mandiku dan pakaian ganti, lalu keluar dari tenda. Zayn masih berbaring di bawah pohon yang beralaskan kausnya, ia sedang bertelanjang dada sembari memainkan ponselnya. Saat aku ingin menghampirinya, ia yang melihatku langsung bangkit dan menjauh dariku.

Aku diam terpaku di tempatku, semarah itu kah Zayn padaku? Menghela nafasku, lalu membalik tubuhku dan berjalan menuju sungai lagi. Pandanganku nampak memburam, tapi hanya sekejap saja. Tubuhku sekarang terasa dua kali lebih berat dan lututku terasa lemas. Tidak, aku tidak boleh selemah itu, aku kuat.

-

Kami (aku dan Zayn) berdua mengalami perang dingin selama di perjalanan pulang. Sesampainya di rumah pun, Zayn hanya kembali ke kamarnya sembari membanting pintunya keras. Aku hanya berdiam diri di kamarku bersama Mitchi di pangkuanku. Ingin rasanya aku berbagi penderitaanku dengan seseorang, tapi itu hanya membuat orang lain ikut terbebani.

Aku mengurung diriku di dalam kamar, dan sekali keluar hanya untuk mengambil makanan Mitchi. Tidak, aku tidak makan. Ingin rasanya aku melihat keadaan Zayn, tapi aku tidak akan mendapat respon apapun darinya, ia hanya akan menghindariku saja.

Tapi rasa penasaran dan peduliku lebih besar dari ego-ku, maka aku menghampiri kamar Zayn. Pintunya tidak terkunci, maka aku buka dan masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya kosong dan masih tertata rapih, tapi pintu balkonnya terbuka menandakan ia berada disana.

Aku hanya menatapinya dari pintu balkon, ia sedang berdiri membelakangiku dan sepertinya ia sedang melamun atau merenungi sesuatu.

"Sampai kapan kau akan berdiri disana?"

Suaranya membuat hatiku terlonjak kaget, jadi ia mengetahui keberadaanku disini? Aku hanya mengigit bibirku menahan air mata yang akan turun lagi dari mataku, aku lelah menangis. Aku menjatuhkan diriku dalam tangisku, lututku sudah tak mampu lagi menahan bebanku.

"Aku tidak bisa membagi kepedihan apapun kepadamu, Zayn. Aku tidak bisa."

Aku menundukan kepalaku dengan terisak tangis mendominasi kalimatku. "Mengapa?" Sahutnya dengan suara yang sangat dingin. "Aku tidak mau kau–aku tidak bisa." Tidak, aku tidak mungkin menjelaskannya. Zayn akan sangat marah jika mengetahui Niall salah satu faktor dibalik tangisku ini.

"Kau tahu, aku akan selalu mendengarkan semua isi hatimu, mau senang atau pun sedih. Mengapa kau tidak bisa? Seberat apa penderitaanmu selama ini? Apa yang kau tutupi dariku? Seberapa banyak kau membohongiku? Sampai kapan kau akan memendam–baiklah, maafkan aku."

Zayn membantuku berdiri lalu memeluk ku erat dan menciumi puncak kepalaku. "Aku hanya sarankan untuk terbuka denganku. Tapi jika kau belum bisa berbagi denganku, tak apa. Aku akan menghargai setiap keputusanmu, tapi jika kau ingin berbagi denganku, aku akan dengan senang hati mendengarkannya." Aku hanya mengeratkan pelukanku padanya, aku tidak tahu sampai kapan aku harus memendam ini sendirian.

"Zayn, apa jika aku meminta sesuatu kau akan mengabulkannya?"

Ia melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan senyumnya. "Apapun akan ku kabulkan untukmu, sayang." Jawabnya. Aku sangat takut mengatakan ini, tapi aku harus.

"Aku ingin kau mencabut tuntutanmu pada Niall."

Zayn menegang di tempat, membuang wajahnya menghindari tatapanku. "Aku tidak bisa." Ucapnya dalam satu hentakan nafas. Bagaimana aku menjelaskannya pada Zayn? Yang benar saja aku harus menjabarkan satu-per satu alasanku untuk meminta Niall dibebaskan dari tuntutan.

"Niall sudah berubah, ia hanya–"

"TAPI IA YANG MEMBUATMU MENDERITA DI RANJANG RUMAH SAKIT!"

Aku terhenyak saat Zayn berteriak padaku, ya ia benar, tapi aku rasa Niall tidak pantas di penjara. "Melecehkanmu, merendahkanmu, mencumbumu, Apa kau lupa apa saja yang pernah ia lakukan padamu?!" Suaranya memelan tetapi masih penuh dengan penekanan.

"Justru itu! Aku tidak pernah lupa pengorbanan apa saja yang pernah ia korbankan untuk ku! Kau tidak pernah tahu kebaikannya, kau hanya bisa memandang sisi buruknya–"

"Aku hanya memandang sisi buruknya? Bagaimana aku bisa memandang sisi baiknya jika ia hanya melakukan hal bejat di hadapanku?!" Zayn mencibir sembari menekankan bagian 'sisi baik' dan memutar bola matanya.

"Dan apapun yang ia korbankan untukmu itu dulu! Sekarang apa yang kau dapatkan darinya? Air mata, kekecewaan, kau dilecehkan, harga dirimu diinjak-injak! Dulu dan sekarang berbeda, Barbara! Mengapa kau tidak pernah mengerti?!"

Aku menghirup nafasku dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kekehan masam keluar dari mulutku bersamaan dengan air mata.

"Aku hanya tidak mau berhutang budi! Dengan semua pengorbanan yang pernah ia lakukan dulu kepadaku, ini balasanku?! Aku memasukannya ke dalam penjara dan menghancurkan perasaan kedua orang tuanya yang sudah merawatku dari kecil! Kau tidak akan pernah mengerti, aku dituntut oleh hutang budi, Zayn, kau tidak akan pernah mengerti."

Zayn menggenggam tanganku dan meremasnya halus sembari menatapku dengan tatapan yang sudah melembut. "Kau bisa mencari cara lain untuk membayar hutang budimu, tidak dengan cara membebaskan orang jahat dari hukumannya." Tangannya menarik pinggangku ke dalam dekapannya, setidaknya dengan cara ini aku bisa merasa lebih tenang.

-

Aku mengerjapkan mataku saat sinar matahari menusuk mataku pagi ini. Matanya bertemu dengan mataku, pemandangan pagi ini benar-benar sangat indah. "Sampai kapan kau akan menatapku seperti itu?" Zayn mengembangkan senyumannya, astaga ini semakin indah.

"Sampai kau mau memberiku ciuman pagi untuk mengawali hari ini."

Bibirku bertemu dengan bibirnya dengan satu kecupan singkat, tidak buruk. "Aku ingin lebih lama, sayang." Zayn mendekatkan wajahnya denganku lalu menyatukan bibirnya dengan bibirku. Lidahnya memasukiku dan bermain-main di dalamnya. Zayn menghisap bibirku lalu mengigitnya pelan dan membuatku meringis, perusak momen.

"Hari ini kita akan menemui ibu angkatmu, lalu kita akan berkencan! Aku akan memanggil Louis."

"Untuk apa menemui ibuku? Dan untuk apa memanggil Louis?"

"Aku akan meminta restu dari ibumu, dan jika soal Louis, aku akan memintanya menjadi sitter untuk Mitchi."

-

Ini gue dabel ga sih? Atau itu apdetnya kemaren? Gatau ah yang penting gue udah apdet secepetnya. (((Karena gue pengen ini cepet selesai hhh_-)))

Gue bingung, minta saran nih...
Menurut kalian Niall mau tetep dijadiin antagonis atau jadi baik? Gue labil soalnya.

Ada yang bisa nebak gak, barb di omongin apa aja sama Gigi n Niall sampe kebebanin sama hutang budi? Wkwkwk (gue butuh jawaban ini buat nentuin sifat gigi sama Niall selanjutnya)

Ok dari kemarin sampe beberapa hari kedepan gue ga on tw dulu ya, maaf yang dm nya belum ke balesin ok ok

30 comments for next chapt :) x

Harlot | z.mTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang