#1 Mulainya Perjalanan (1)

25 2 0
                                    

                 

Bau hujan tercium dari Balkon. Sara masih tertidur. Dalam harapan, ia ingin  semuanya selamat. Ia tidak tidur, hanya memejamkan mata untuk menenangkan diri. Matanya terbuka pelan sambil memandang jendela balkon yang berembun. Menghubungi Hikaru dengan mengirimkan pesan singkat. Masih belum ada perkembangan dari Ami. Begitu yang Hikaru tulis di pesan yang ia kirimkan. Sara gelisah, "Mengapa kita bertemu bila akhirnya dijauhkan?" gumamnya.

"Gue harus pergi ke Nepal dua minggu lagi," Sara melamun. Ia tak bisa begini terus. Sebagai suami, ia juga ingin istrinya selamat sekalipun nyawa dia menjadi taruhan. Sebenarnya, Sara masih bingung untuk pergi bersama Miya atau tidak. Perasaan cintanya begitu besar pada Ami dan anaknya dibanding dirinya sendiri. Hanya Ami dan anaknya yang ia punya sekarang. Lebih baik ia kehilangan harta daripada harus kehilangan Ami.

Ia teringat dengan perkataan Miya, "Apapun? Walau Ami hidup tanpa lo?"

Sara tak akan menarik keputusannya untuk segala konsekuensi yang didapat demi Ami dan keselematan anaknya. Di luar, hujan seputih salju. Sara membuka jendela, membiarkan tetes air berjatuhan di telapak tangan dengan lembut. Air matanya menetes, perasaannya sesak membuat dadanya serasa ditekan. Sara mengerti, takdir tak akan bisa berubah. Salahkah ia takut kehilangan orang yang ia cinta? Akankah suatu hari cerita impian yang ia buat akan pecah dan lenyap? Pada saat itu ia akan berkata, "Selalu selamanya."

Apakah kata itu benar-benar terukir dalam pikiran? Air yang menari lembut, bila Ami tak ada di sisinya pandangannya akan turun. Ia melihatnya ketika mulai kehilangan. Namun hal itu tidak mempunyai nama, Sara mencintai Ami. Ada satu kenyataan harus di terima Sara, tubuhnya selalu gemetar ketika ia tak menyadari. Tidak ada keabadian. Itulah kenyataannya. Ia memejamkan mata, mencoba untuk memastikan sekarang. Memperluas perjalanannya hanya untuk Ami seorang, dirinya dan cerita impian.

Semua ia inginkan. Kilauan cerita kehidupan cinta seperti novel-novel yang Ami tulis, tak ingin Sara lupakan.

Ketika berbicara masa depan dalam mimpi, roda besar akan berputar menjauh dari masa lalu. Bergerak ke arah esok. Meninggalkan zona nyaman membuat terbelenggu dalam kesendirian dan kesepian. Asap kehidupan tertiup dari pipa masa kini. Bulan sabit berwarna kuning telah menerangi Sara dan Ami dengan lembayung kisah kehidupan berwarna cokelat. Sara sudah siap bertempur pasca 9 bulan menikah tanpa menjadi host seperti sebelumnya di Klub walaupun Yuzu mengizinkannya untuk sesekali mengunjungi Klubnya di Osaka. Jiwanya kering seperti gurun pasir, tak ada oase kebahagiaan melepaskan dahaga untuk saat ini. Seperti ular berbisa menancapkan taring di kakinya. Itu semua tak membuatnya mundur untuk perjalanan ke Nepal bersama Miya dengan tekadnya. Tak akan pernah menarik serta mencoba mengubah apa yang ia jalani dalam nasib. Makin siap bertempur dengan dua pedang tajam penghunus suatu penghalang. Kunci-kunci impian telah ia pegang teguh. Ia bawa dalam persiapan perjalanannya dua minggu lagi. Tantangan terbesarnya, bertemu dengan sesuatu mustahil, tak mungkin ia mengadakan perjanjian dalam keadaan biasa. Ia mau, Ami harus tetap selamat bagaimanapun caranya. Persetan dengan kekuatan alam semesta yang dia percaya selama bertahun-tahun dalam kesendirian. Ia harus tetap mencengkeram kuat impiannya, tak ingin Sara lepas. Tak peduli betapa tertekan pikirannya. Hanya ada satu mata hati Sara terbuka berada di sisi putih keinginan paling dalam. Sebelah mata tertutup tak Sara indahkan. Lamunan membuat ia terkukung dalam sebuah lorong gelap, hanya ditemani seekor ikan yang mati. Ia merasakan bahwa ia sendirian, tapi dibalik itu ia tak bisa berhenti walau bayang-bayang kegelapan menghampiri. Sara hanya bisa melawan rasa itu sekarang sekalipun matanya harus ia tutup satu. Mata yang dipakai untuk komunikasi dengan orang lain selain teman, istri dan sahabatnya.

"Roda akan terus berputar, Tuhan bantu aku untuk menjalani semua." Sara mengatupkan tangan seraya berdoa menggenggam kalung salib di leher. Ia hanya meminta keselamatan pada Tuhan untuk perjalanannya ke Nepal. Suatu tempat yang belum ia ketahui konsekuensi untuknya mengadakan perjanjian dengan Naĭ-visokata.

Sara merenung, besok ia akan menjenguk Ami dan menjaga menggantikan Hikaru di Rumah Sakit. Ia tetap berharap, Ami selamat melewati masa kritis dari vonis Dokter Nita tadi siang.

Ia berpikir, tak baik untuk larut dalam kesedihan terlalu dalam. Sara mempercayakan semuanya pada Miya. Hanya Miya penawar kesedihan Sara sekarang. Roda kehidupan, impian serta mulainya perjalanan untuk meniti anak tangga kebahagiaan kerajaan Surga bagi hidup Sara.

MementoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang