#14Hujan, Kegelapan dan Perjanjian

10 1 0
                                    

Langit mendung, menitikkan semilyar air mata di langit Jakarta. Hikaru terpukul melihat adiknya terkulai lemas. Begitu juga dengan yang lain, sangat cemas tak bisa mendengar lagi suara tawa Ami di Osaka. Di paviliun, pikiran Sara masih menerawang lebih jauh ke masa lalu. Mau tak mau, ia harus siap menanggung risiko perjanjian. Tak akan bisa mencegah takdir. Lebih baik, ia mencoba mengerti tentang perpisahan di mana dirinya sudah tak bisa bersama walau sangat berat. Hidupnya serasa hampa setelah sudah melangkah sangat jauh tapi dijatuhkan dengan harapan semu.

Setiap Sara mengetahui tentang Ami, ia melupakan sesuatu darinya. Seperti itulah cinta Sara. Mengetahui namun melupakan dirinya sendiri. Pedih? Jelas! Ia tak sanggup untuk sendirian lagi seperti di awal tanpa Ami. Karena istrinya, Sara menjadi lebih semangat hidup dan tak pernah menyerah untuk membangun istananya sendiri bersama Ami. Ia tak bisa kembali lagi mengulang waktu dengan permasalahan yang ada. Harus ia hadapi dengan lapang dada. Lelehan es krim persoalan harus ia telan hingga ia muak. Rasa takut kehilangan terus menerus menghantui. Ingin berlindung dan bersembunyi di suatu tempat agar bisa terhindar. Hanya, semua tak akan bisa di hindari sekalipun dia membantah. Akan tetap ada hari akhir dan penghakiman oleh Sang Tertinggi bersama Sang Dewi.

Kesedihan tetap menyelimuti hati Sara hingga detik ini. Do'a doa yang ia hapal serta puji-pujian sudah ia siapkan demi kesembuhan Ami seorang. Masih menggantungkan harapan di sela-sela malam hari. Waktu telah menunjukkan pukul tengah malam, sengaja tak pulang bersama Miya, Hikaru dan yang lain sesuai janji menunggu Ami pulih.

Bersembunyi dari Sang takdir? Tentu mustahil. Lebih tepatnya seperti mencari jerami dalam tumpukan jarum. Puzzle kehidupan masih misteri harus Sara susun hingga akhir. Hujan makin deras di luar. Bau tanah menyeruak menimbulkan wangi khas dari rumput di taman paviliun Rumah Sakit.

Susunan lego, dadu membuatnya ingin muntah. Ia tak bisa sendirian menyusun lego dari Sang Pencipta. Seseorang harus membantunya. Sekarang orang itu masih terkukung dalam keadaan antara hidup dan mati setelah ia melihatnya baik-baik saja.

"Apa Ami bukan milik gue?" Sara melamun melihat foto Ami bersama dia di dompet. Ia membatin, "mengapa semua terjadi begitu cepat? Bisakah aku mendapatkan kesempatan lagi sebentar?"

Senyuman Ami di foto begitu manis. Cuma terlihat lebih pudar karena foto sudah lama. Panik, sedih, takut menjadi satu. Sara ingin terjun ke lubang hitam rasanya jika Ami tak bisa di harapkan. Haruskah?

Haruskah ia kembali menanggung beban sendirian? Mengasuh buah hati sendirian tanpa istrinya? Bagaimana suatu saat anaknya akan menanyakan di mana ibunya? Kehidupan begitu keras, tak baik jika harus disembunyikan terus menerus, bukan? Ia menarik napas supaya lebih tenang. Miya menepuk bahu Sara. Sara terlihat frustasi, rambutnya acak-acakan. Kemejanya juga berantakan.

"Ngelamun mulu lo."

Sara tetap bungkam. Miya menghela napas. Dengan cara apalagi ia menghibur Sara? Semua sudah terjadi tak bisa di ubah seperti semula. Miya garuk kepala melihat tingkah sahabatnya seperti orang kurang waras. Dugaan Miya, Sara tak kuat mental dengan kejadian masa kini. Lebih banyak melamun serta rasa panik tergambar jelas di mata sahabatnya.

"Ayolah, mana Sara yang gue kenal?"

"Tapi—"

"Mana Sara yang dulu perjuangin Ami mati-matian sampai maksa gue segel Frugel?"

"Gue nyerah sampai sini," Sara putus asa. Miya geram. Darahnya mendidih, mengapa Sara menjadi menyerah saat-saat terakhir? Apa Sara sekarang adalah Sara pemurung, cepat putus asa? Hanya Ami yang tahu kehidupan Sara di rumah.

MementoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang