EPILOG

13 1 0
                                    


6 tahun kemudian

Luke Ichijou, umur 6 tahun. Tengah bermain bersama teman sebaya di sekolah. Berlari kesana dan kemari mengikuti arah angin. Ia anak yang cerdas dan supel. Sehingga mempunyai banyak teman. Dari taman, duduk dua orang laki-laki. Yang satu laki-laki paruh baya dan bertubuh gemuk, sedangkan di samping duduk seorang laki-laki berambut pirang. Mereka sedang mengobrol memperhatikan Luke di taman sekolah.

"Terima kasih telah merawat anak saya selama ini," kata laki-laki paruh baya menikmati semilir angin.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya ikhlas." ucap Sara menatap mata laki-laki di samping dia. Mata laki-laki itu terlihat nanar. Sara tahu mertuanya menyimpan rasa kesedihan yang dalam dibanding dirinya. Tapi, ia tak ingin membuat Ayah Ami menangis sekian kali karena kehilangan anaknya.

"Udah lama sekali ya. Berapa biaya Luke sekolah? Biar saya ganti."

"Nggak usah, Pak. Nanti ngerepotin." Sara menggeleng. Tak enak harus menerima uang mertuanya. Ia masih tak sanggup menghapus memento dari kisahnya dulu. Ia lebih memilih diam agar tak ada obrolan lebih lanjut.

"Nggak apa-apa, saya juga ikhlas. Biar begini, saya kan Opahnya Luke."

"Terima kasih atas bantuannya, Pak. Mungkin jika ada kesempatan, saya akan menerima bantuan Bapak." Sara menolak dengan halus. Ia melihat Luke bermain bersama teman-temannya, melambaikan tangan ke arahnya serta Ayah Ami.

"AYAAH!" teriak Luke menghampiri Sara di bangku taman.

"Halo, sayang. Udah selesai mainnya?"

"Udah dong Ayah." jawab Luke mengacungkan jempol.

"Ayo cium tangan dulu sama Opah,"

"Opah udah lama di sini?" tanya Luke mencium telapak tangan Ayah Ami yang kekar.

"Iya dong, kan lihat cucu Opah yang ganteng." jawab Ayah Ami mencubit pipi Luke.

Anak laki-laki berambut hitam, berwajah oval, berhidung mancung itu terlihat malu-malu pada saat Kakeknya mencubit pipi halusnya. "Opah bisa aja," Luke melanjutkan sambil mengusap pipinya yang merah.

"Ayo pulang,"

"Nanti dulu, Ayah. Bunda kemana? Kenapa nggak pernah jemput aku?"

Pertanyaan itu terdengar dari mulut Luke. Sara menunduk bersama Ayah Ami. mereka berdua bungkam. Daun pohon berguguran seiring pertanyaan itu terlontar dari mulut anak dan cucu mereka. Sara tak sanggup jika harus mengatakan bahwa Bunda Luke telah ada di langit. Kembali ke kehidupan kedua menjadi penghuni langit. "Sayang, Bunda bukannya nggak mau jemput kamu. Tapi, Bunda Ami sekarang udah ada di langit nggak akan kembali lagi."

"Bunda Ami, jahat!" Luke tidak terima. Bibirnya monyong. Cemberut sembari duduk di pangkuan Ayahnya.

"Bunda bukan jahat, Nak. Tapi tugas bunda telah selesai." sahut Ayah Ami terbata-bata. Matanya mengembang menahan air mutiara agar tak jatuh dari matanya yang rabun.

"Opaah—"

"Betul kata Opah, lebih baik kamu doa'kan bunda,"

"Setiap malam, aku selalu mendo'akan bunda supaya bisa jemput aku."

"Pintar cucu Opah." ucap Ayah Ami terpaksa. Ia benar-benar sangat menyesal telah kehilangan Ami selamanya. Ia juga baru tahu bahwa Sara adalah suami Ami. Seorang laki-laki penjaga cucunya dengan ikhlas juga merawat anaknya. Andai ia tahu lebih awal, mungkin ia tak akan mempercayai omongan tetangga sekitar. Sayangnya, kesempatan kedua sudah terlambat ia gunakan untuk membuat Ami kembali. Dari langit, laki-laki tua itu melihat seorang perempuan bersayap tersenyum padanya. Bermain bersama burung-burung di langit siang bersama gugurnya daun pohon secara perlahan. Menyentuh tubuh besar nan kekar tersebut. Ia mengambil daun seraya tersenyum lepas.

Memoriam itu juga Sara ingat waktu di Nepal sewaktu Sang tertinggi dan Sang Dewi menawarkan perjanjian. Matanya menerawang pada beberapa tahun lalu. Di sebuah kuil dia memohon—

MEMENTO

FLASH BACK

Sebuah aula luas dengan banyak lorong terlihat sepi. Terasa sejuk. Angin dingin memainkan rambutnya pada saat itu. Sembari jalan, Miya meneruskan perkataannya, "Di sinilah tempat utusan Naĭ-visokata berada. Jangan takut, Sang Dewi akan bantu lo menghubungkan dengan Sang tertinggi." Miya lebih memilih menjauh dari posisi Sara saat itu. Dia tersenyum palsu, membiarkan Miya menjauh untuk sementara. Ia menjauh, membiarkan Sara bercakap dengan Sang tertinggi melalui perantara-Nya.

BREG—

Lutut Sara lemas. Jatuh tersungkur dengan wajah muram. "Beritahu aku, Ami salah apa?"

Tes—

Air mata sekian lama terbendung sudah tak tertahankan. Ia gengam foto Ami dengan air mata mengalir membasahi pipi. "Kalau saja aku bisa memutar balik masa lalu...dari sekian banyak, kenapa harus Ami? Dia segalanya bagiku!"

"Aku rela memberikan semuanya. Napasku, suaraku, bahkan nyawaku. Oh Dewi utusan Sang tertinggi! Ku mohon...jika engkau memang ada...KU MOHON!"

Pecah sudah pertahanan. Menangis semampu dia. Membiarkan air matanya mengalir membasahi relung jiwa. Berharap Sang Dewi dan Sang tertinggi mendengarkan. Oh Dewata... Ku mohon. Batin Sara. Patung besar berwujud perempuan sedang duduk terlihat bercahaya. "KEMBALIKAN DIA PADAKU, DEWATA!"

Sama sekali tak bisa berpikir, dia rela menebus semua kesalahan asalkan Ami kembali. Terus menerus meneriakkan kalimat itu sekencang-kencangnya di depan patung. Sesaat, Sara melihat cahaya putih berwujud seorang perempuan dan laki-laki bersayap melayang di langit-langit.

"APAKAH KAU BERSEDIA UNTUK MENYERAHKAN AMI-MU PADA KAMI?" tanya suara laki-laki menggema di langit-langit.

"APAKAH KAU JUGA BERSEDIA MELEPAS WAKTU HIDUPMU UNTUKNYA?" sambung perempuan bercahaya berada di sebelah makhluk laki-laki bersayap setengah hitam dan putih.

SLAAASH—

Cahaya itu melebar, membuat matanya silau. Beban Sara telah berkurang. Cahaya itu disambut. Menggiring tubuh dia entah kemana. Cahaya menyilaukan cukup lama membawa tubuh kurus itu. Perlahan, cahaya memudar lalu menggelapkan pandangan. Saat itulah, semua waktu terulang. Membuka tabir sebagian masa lalu dalam sebuah Memento.

END FLASH BACK

Hari sudah pukul 3 sore. Sara dan Luke pamit pulang menaiki Bus Transjakarta dari shelter dekat sekolah. Melambaikan salam perpisahan pada Opah. Jalan Luke diiringi banyaknya guguran daun sepanjang trotoar.

"Ayah, kok banyak daun jatuh?" tanya Luke mengambil sebuah daun kering berwarna kuning keoranyean di kepala.

"Itu tandanya, Bunda Ami masih menjaga kita," jawab Sara melihat langit matahari sore. Langkahnya sengaja perlahan untuk menikmati pemandangan langit sore yang indah. Ada Ami di sana, wanitanya telah menjelma jadi penghuni langit dan penjaga semesta alam. Mengawasi Sara dan Luke dengan wajah cerah. Melambaikan tangan menandakan ia tetap bersama Sara dan Luke dari langit. Sara membalas lambaian tangan dari bawah bersama dengan datangnya Bus berwarna merah dari shelter.

Memento, sebuah kenangan hidup tak terlupakan dalam kisah seorang Sara di Jakarta beberapa tahun lalu. Semilir angin hangat mengiringi kepulangan mereka ke apartemen. Tak ada lagi suara Ami memanggilnya, namun Ami tak akan pernah pergi dari hati Sara seorang. Seorang perempuan layaknya peri kecil telah selesai menyiram hatinya yang kering gundah gulana.


MementoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang