#10Keramahan yang Berdusta

17 1 0
                                    

Mawar hitam di sisi meja mulai layu, menghilang di serap mentari. Bau harum mawar hitam membangunkan Sara. Ia terkejut melihat sekutum mawar layu di meja losmen. Bertanya dengan segenap hati, "Apa yang terjadi semalam?"

Ami masih tak bergerak dari posisi di ranjang. Sara melihat cermin seraya memerhatikan lebam ungu di sudut bibir. "Sialan!" ia pergi mencari obat untuk mengobati luka bibir. Setelah membeli obat, Sara membuka pintu kamar. Ia tergugu melihat Ami sudah bangun menunggunya.

"Mister kenapa? Kok pinggir bibirnya ungu?" tanya Ami dengan wajah polos.

"Hanya luka kecil." Sara menjawab.

"Mister berantem?"

"Nggak sengaja." Sara terpaksa berbohong. Ia tak ingin Ami tahu bahwa yang menonjok itu adalah Ayahnya sendiri. Namun, semakin ia berbohong Ami tambah curiga. Sebisa mungkin, Sara tutupi kebohongan dengan kalimat seadanya.

"Bohong! Mister pasti bohong,"

"Saya nggak bohong!"

Ami keras kepala mengatakan Sara berbohong. Mengalah, Sara terpaksa jujur bahwa ia di tonjok oleh Ayah Ami sewaktu bekerja dengan mengadakan pertunjukan sulap di warung Mas Pono. "Mister kenapa bohong?" Ami sedih.

"Saya cuma nggak mau kamu sedih."

"PAPA JAHAT?!"

Ami berteriak. Suaranya menggema di kamar. Sara menutup telinga tak ingin mendengar apa-apa tentang keluarga Ami. Mengelus dada menahan kesabaran. Anak sekecil Ami sudah mendapatkan perlakuan palsu serta keramahan yang berdusta dari keluarga. Ami memberontak meremas seprei di ranjang. Meradang lalu menendang meja. "AKU BENCI!"

"Hey! Tenang!" Sara memeluk Ami dari belakang. Menenangkan hati Ami yang panas. Mengusap rambut dan mencium lembut supaya Ami kembali. "AKU BENCI! BENCI SEMUANYA!"

"Ami—"

"KENAPA? SALAH AKU BENCI SEMUA? MEREKA SEMUA PALSU, PEMBOHONG DAN PENIPU!"

"Saya emang nggak tahu asal-usul keluarga kamu selain kemarin. Sekarang kamu ada dengan saya, Ichijou Sara. Kamu berhak lepas dari kepalsuan yang ada."

"Mister bohong kan?!" Ami melotot.

"Kalau saya bohong, kenapa kamu nggak pergi dan ikut saya?"

Ami bungkam. Ia bingung menjelaskan apa. Ia trauma di bohongi sekian kali oleh keluarganya. Ia tak kuat menahan semua keramahan namun dusta semata. Merasa di jebak dengan janji palsu dan iming-iming angin surga.

"Aku—"

"Kenapa? Kenapa kamu diam?"

"Aku takut kejadian yang sama terulang."

"Itu nggak akan terjadi."

"Dari mana Mister tahu?"

"Apa kamu merasa terkekang dengan saya di sini?"

"Nggak." Ami menggeleng.

"Lalu, apa saya membuat kamar ini menjadi penjara buat kamu?"

Ami menggeleng. Ia malu menuduh Sara dan menyamakan dengan keluarganya. Selama beberapa hari di sini, ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia dapat di rumah. Sekalipun, hanya kamar sempit di losmen. "Maaf, kalau saya terlalu keras." Sara merengkuh tubuh Ami. Ia bergeming, membisu menatap jendela. "Mis..ter..nggak keras sama aku." kata bibir kecil dengan bergetar. Air mata membasahi pipi.

"Maaf, saya sayang sama kamu." Suara Sara ikut bergetar. Ami berbalik memeluk Sara dengan air mata. "Maafin Ami ya, mister."

"Kamu nggak ada salah sama saya." Sara menggeleng. Mengusap air mata Ami dengan ibu jari. Mata indah itu kembali menangis. Sara berjanji menjadi pelindung Ami selamanya. Tak tega meninggalkan Ami dengan kesepian serta dinginnya udara hati di luar kamar.

"Maaf—"

"Kamu nggak salah. Janji, kamu nggak sedih lagi?"

Ami mengangguk. Tersenyum tipis menatap Sara. "Saya nggak akan tinggalin kamu. Tetaplah bersama saya."

"Ya,"

"Janji kamu ke saya cuma dua. Jangan malas sekolah untuk mencapai cita-citamu. Yang kedua, kamu jangan sedih lagi. Oke?"

Ami tersenyum. Mengusap air mata. Matanya sembab, jadi terlihat makin kecil. Sara tertawa meledek Ami dengan sebutan mata celengan. Tugas Sara mulai hari ini adalah mengayomi dan membimbing puteri kecil menjadi lebih baik. Menjaganya hingga akhir. Berteman dengan sepi dan dinginnya kehidupan. Menyusun kartu kenangan hingga ke puncak, tak membiarkan sang puteri jatuh dalam lubang yang sama. Mengusir trauma dari kartu kenangan kelam.

Tak membiarkan semua itu masuk ke dalam kehidupan baru tuan puterinya. Menjadi lentera menerangi kehidupan tuan puteri Ami. Ia optimis masih banyak kesempatan memperbaiki waktu. Setidaknya, membuat Ami bahagia itu sudah cukup. Waktu hidupnya telah berkurang, wajahnya makin rapuh. Asal kamu bahagia, itu lebih dari cukup. Sara membatin. Tersenyum melihat Ami mencoret-coret kertas kosong dengan pensil.

"Mister, aku buat gambar loh!"

"Gambar apa?"

"Gambar aku sama Mister." Ami menjawab menunjuk pensil ke hidung Sara. "Oh ya?" Sara melihat gambar Ami.

Terlihat sebuah gambar laki-laki berambut jabrik bersama anak perempuan berambut ikal di gendongan si laki-laki. Menaiki kuda mainan. Anak perempuan di gambar tertidur sementara si laki-laki memeluknya layaknya seorang ibu.

"Ini saya?"

"Iya." Ami mengangguk.

Sara terharu, Ami menggambar dirinya. Seperti isyarat kalau Ami telah percaya dengannya. Bagaikan madu di pagi hari pada secangkir teh dengan kue jahe. "Lalu, anak perempuan ini siapa?" tunjuk Sara.

"Aku,"

"Kamu?" Sara menyodorkan telinganya.

"Iya, itu aku!" Ami cemberut. Sara mencubit pipi Ami. Pipi tembam semanis kue tart stroberi. "Kamu cemberut lucu!"

"Mister ngeledek?" Wajah Ami masam. Sinar mata memancar kesepian, seperti berharap Sara akan ada terus disamping dia dan tak meninggalkannya.

"Kamu masih nggak percaya kalau saya tetap bersamamu?"

"Siapa yang nggak percaya?" Ami mengelak.

"Kamu!" Sara menekan hidung Ami yang mungil. Hidungnya merah seperti tomat.

"Aduh, hidungku!" Ami mengusap hidungnya.

"Biar mancung!" Sara tersenyum jahil.

"AWAS YA MISTER!"

Ami bangkit dari ranjang bersiap mengejar Sara yang berdiri. Sara beranjak pergi menghindari kejaran Ami mengitari kamar dengan perasaan bahagia. Kapan lagi bermain kejar-kejaran dengan Ami kecil seperti tikus dengan kucing? Ia berlari bersembunyi di pojok ranjang. Apa daya, Ami telah menyentuh wajahnya.

"Yeay, Mister kena! Sekarang Mister jaga. HAHAHAHAHA..."

"Saya dari tadi udah jaga."

"Curang! Sejak kapan mister jaga?"

"Jagain kamu dari dua hari lalu." Sara cengengesan.

Ami makin tersipu. Menutup wajah didepan Sara. Berlari membelakangi, menjauh dari laki-laki pelindungnya. Menceburkan diri di tengah lamunan. Meresapi ketenangan yang ia dapat berharap selamanya tak akan pernah lekang oleh waktu.

e_(

MementoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang