#4 Semilyar waktu untukmu (2)

18 1 0
                                    

"Mister, itu becaknya!"

Ami menunjuk sebuah becak dengan pengemudi yang siap mengayuh untuk mengantar kami. Rona wajahnya merona, sangat ceria daripada tadi. Tampaknya, ia sangat senang dengan penemuannya hari ini. Namun, kenapa dadaku mulai sesak? Sesak saat melihat Ami kecil berusaha ceria walaupun hanya menemukan sebuah becak di ujung jalan?

"Mister?" celetuknya.

"Ya, Ami?"

"Kenapa melamun?"

"Nggak apa-apa. Ayo, kita kesana. Kamu janji loh mengantar saya berkeliling."

"Oh iya juga," Ami nyengir. Cengiran khas sedari aku bertemu dengannya saat besar. Cengiran gigi kelinci manis semanis permen kapas. Kenapa dia tak ada yang mencari? Apa keluarganya sibuk? Tidak ada sepatah kata diucapkan Ami untuk bilang pamit pulang padaku. Dia sendirian? Bisa jadi—

"Ami, kamu nggak pulang ke rumah?"

"Mister—"

"Aku—"

"Kenapa?"

"Nggak jadi," Ami menggeleng.

"Mau ngobrol lebih lanjut? Bagaimana kalau kita ke restoran?" tawarku padanya.

"Nggak usah, Mister."

"Kenapa? Emangnya kamu nggak lapar?"

"Kata Mama, aku nggak boleh menerima makanan orang yang baru aku kenal. Nanti takut di culik," Ami menggeleng.

"Dik, saya bukan orang yang culik kamu...tapi hanya ingin menemanimu,"

"Kenapa Mister?" Ami melongo.

"Nggak, ada kucing hitam tadi."

"Mister mau aku antar berkeliling?"

"Udah pasti,"

"Ayo!"

Ami menarik tanganku dengan kekuatan penuh. Membuat tanganku sedikit nyeri. Entah mengapa, telapak tanganku perih. Setelah becak datang, kami langsung menaiki dan berkeliling Pademangan Barat. Menyusuri jalanan petang sunyi. Ami terlihat diam saja. Merenung memimikirkan sesuatu, tampaknya dia bosan. Bagaimana setelah ini aku ajak makan malam? Kelihatannya dia lapar, aku yakin itu. Semoga, Ami mau makan bersamaku. Dari kecil, sudah terlihat ia sosok pemikir ternyata. Terlihat polos, namun jauh di dalam hatinya tersimpan rasa kesepian. Aku bukan sok tahu, aku merasakannya. Ia masih merenung memerhatikan jalanan malam yang terang oleh lampu jalan. Bagus juga pemandangannya. Benar-benar berbeda. Belum ada banyak gedung tinggi dan lain-lainnya. Masih banyak pepohonan dan rumah-rumah penduduk.

"Ami, ini tahun berapa?" tanyaku hati-hati.

"Ini kan tahun sembilan lima. Mister lupa ya?" Ami cengengesan menertawakanku.

"Tahun sembilan lima? Maksud kamu?" Aku mengeryitkan dahi. Masih tak mengerti dengan perkataan Ami.

"Sekarang tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima."

Ami membentuk jari tangannya dengan angka satu, sembilan sebanyak dua kali dan angka lima padaku. 1995? Benarkah itu? Berarti aku—, aku tersesat di masa Ami berumur sekitar 5 tahun. Betul bukan? Dia menikah denganku saat berumur 25 tahun jalan 26 tahun. Rasa bosan mendadak menghampiri. Aku seperti tak bernafsu untuk melanjutkan perjalanan dengan becak bersama Ami. Ami tertidur? Bisa-bisanya dia tertidur saat seperti ini. pengemudi becak terlihat sebal menatapku. Sepertinya, kesal dengan kami yang menaiki becak tanpa tujuan.

MementoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang