#8Sayap yang terkekang

20 1 0
                                    

                 

Seperti apa perasaan Ami sekarang? Ia hanya merasa nyaman dengan Sara. Tidak hanya itu, rantai ketakutan mulai lepas dari kedua tangannya. Meski kakinya tetap terantai oleh bayangan pertengkaran. Ami bersyukur bisa kembali seperti sedia kala dengan perlahan tapi pasti. Jarum menusuk relung hati serta sayap impian yang terluka membuatnya meronta sekian kali. Tak bisakah ia bebas dari pertengkaran yang ada di dalam rumah?

Kesakitan. Rasa Ami yang paling dia benci. Terkukung dengan trauma begitu menghiasi hidupnya setiap malam. Selama ada Sara, sedikit demi sedikit ia bisa melupakan pertengkaran itu. Ami tak sekolah? Ia sekolah, hanya orang tuanya tak memikirkannya. Mereka terus menerus memaksa Ami menjadi bintang kelas seperti ketiga kakaknya. Ia jadi sering bolos akibat tekanan dari Ayah. Ia bukan anak bodoh, Ami lebih suka menggambar dan mengarang cerita dalam buku harian. Sekalipun dianggap aneh oleh anak sebaya, ia tak peduli. Hanya ingin melampiaskan imajinasi dalam buku. Setiap hari, ia menulis beberapa halaman dalam buku harian. Cerita-cerita tak biasa, peri gunung, pangeran yang datang dari masa depan, dan lain-lain. Sekalipun buku hariannya dibuang oleh Kakak laki-laki pertama, tidak juga mematahkan semangatnya. Ia di dukung oleh Kakak laki-laki kedua, Hikaru. Hikaru  selalu senang oleh tulisan Ami. Membayangkan cerita sang adik menjadi kenyataan. Sekarang, Hikaru telah dipindahkan ke Jawa Tengah bersama adik ayahnya. karena dianggap membangkang oleh Ayah Ami.

"Nah, kita udah sampai. Ayo turun!" ajak Sara turun dari becak.

"Loh udah sampai?" Ami melongo melihat Griya Losmen telah ada didepannya.

"Kamu kenapa bingung?"

"..."

"Halo, Ami—"

"Hah?"

"Ayo, nanti mi ayamnya dingin."

Bibirnya terkunci. Tak bisa berkata apa-apa. Baginya, Sara terlihat seperti malaikat bersayap bening yang ia sering tulis di dalam buku harian. "Apa Mister Sara itu—"

Sayap transparan terbuka dari punggung Sara. Ami melihatnya. Keindahan itu ada, terasa nyata. Mengunci harapan, impian agar tak lepas. Iris matanya melebar, gembok impian terbuka, menutup penghalang Ami sekian lama. "Mister—"

"Ya Ami?"

"Apa yang dibelakang itu sayap Mister?" tunjuk Ami pada punggung Sara. Sayap putih  membentang di punggungnya.

"Hah, sayap?" Sara menoleh ke belakang. Tidak ada sayap seperti yang ditunjuk. Dahinya berkerut dengan perkataan Ami. Tak percaya, Ia kembali menoleh, "Sayap apa?" Sara bingung, menggaruk kepala depan pintu kamar.

"Apa Mister Sara datang dari langit?"

"Langit? Kalau naik pesawat sih iya. Hehehe..."

"Bukan itu Mister." jawab Ami.

"Langit apa? Kamu tuh ada-ada aja."

"Aku lihat ada sayap di punggung Mister." Ami tetep bersikeras dengan pendapatnya. Sara mulai paham dengan apa yang dikatakan Ami. Kemungkinan tak lama lagi Sang tertinggi akan menjemputnya atau menjemput Ami? Ketika Sara ingin menangis di sanalah pisau besar akan menghujam. Seperti dua mata pedang, satu sisi, takdir tak akan pernah bisa berubah, sisi lain ia ingin melepaskan Ami dari penderitaan selama hidup. Bahkan, Sara tak membiarkan Sang takdir mencoba mengambil Ami, wanita tercintanya.  Yang ia lakukan hanya membisu seraya menutup mata. "Dewata, kenapa ini terjadi?"

Membeku dengan udara dingin menusuk jiwa. Sara pernah membaca cerita legenda tentang sayap impian karangan Ami. Mungkinkah ini harapan Ami kecil bahwa sayap terlihat adalah impian Ami yang tergantung selama ia hidup?

MementoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang