Jancuk!
Tidak ada kata paling pas yang mampu menggambarkan niatan Wirya, homo berusia dua puluhan yang sedang mencari jati diri itu. Hobinya melanglang buana, mencari seseorang yang mampu memuaskan lubang anusnya. Sejatinya lubang itu selalu lapar, menuntut, meminta lebih dengan aungan ganas. Menjerit, mengangkang, memasukkan benda keras berurat masuk ke dalamnya. Bergerak liar dengan napas berat, hingga benda itu sampai pada ujung kebanggaannya.
Jancuk!
Dia sadar kalau ada saat dimana dia harus berhenti. Dalam bahasa Inggris, jancuk koen memiliki arti fuck you. Bisa diartikan sebagai kegiatan menggagahi, atau dalam istilah general jadi bercinta, seks, dan kata-kata lain. Namun dalam hal ini namanya bukan seperti itu lagi. Jancuk adalah Jancuk. Bukan fuck macam sodokan penis, bukan! Tidak ada kata yang pantas disebut Jancuk oleh Wirya selain dirinya. Juga... orang-orang di sekitarnya.
Jancuk!
Kata itu akan selalu muncul di sini, menjerit, meminta untuk terus disebutkan. Karena ketika amarah tidak mampu mengatakan semuanya, hanya dengan Jancuklah semuanya terpelihara. Jancuk! Jancuk! Jancuk!
Senangkah kalian menyebutnya?
Jika memang senang, maka katakanlah, sebutkanlah tiap kali kalian membaca tulisan yang terangkai sialan ini. Tidak akan pernah jari berpuas hati meski untuk mengetik kata, merangkai hal-hal yang mungkin akan menjadi buah dari pemikiran dari otak yang selalu tersembunyi.
Jancuk!
Maka, dengan kata apa lagi mereka sanggup mengatakan rasamu?
Lalu merengkuh dalam badai norma yang kalian sebut sebagai dosa, sebagai pelanggaran adat istiadat lantaran kata lebih menakutkan saat keluar dari lidah. Lalu bagaimana dengan tingkah yang seolah mengadili, mendadak merasa sok suci untuk menguliti tiap kerangka berdaging.
Jancuk!
Ya, kalian memang manusia!
-J-
Disebutkan dalam cerita Wirya sebelumnya, dia homo. Gay. Menyukai bulatan dan pentungan di selangkangan lelaki. Tidak menyukai gundukan di dada perempuan, tidak suka yang memiliki dua lubang. Karena dia yang ditusuk, katakanlah dia menikmati dan tidak perlu bersusah payah untuk memaju mundurkan penisnya. Tidak perlu yang susah-susah untuk memulai, karena dia sangat menikmati.
"Wir, mau kemana?" Suara itu terdengar kesal, menuntut seperti biasanya.
"Pasar!"
Wirya bukan lelaki yang harus meminta pada kedua orang tuanya untuk dibelikan seperangkat barang berharga. Alasan? Lantaran kedua orang tuanya sudah pindah dari dunia ini menuju tempat dimana mereka berasal. Wirya tinggal bersama kakak lelakinya, yang tiap kali pulang selalu bau semen. Kakak lelakinya jadi kuli bangunan tiga tahun terakhir ini.
"Bang, kalau nanti ada yang cari bilang saja aku pergi."
Abangnya mengernyit tak mengerti.
"Siapa yang mau cari kamu?"
Wirya menaikkan alisnya. Dia sedang tidak ingin berada di rumah. Dia ingin menikmati masa bersenang-senang di luar. Dia tidak terlalu peduli dengan apa kata orang soal dirinya. Lagipula abangnya sudah tahu kalau dirinya homo. Wirya tersenyum geli, melangkah pergi setelah itu.
Wirya pengangguran.
Jancuk!
Sudah, tidak usah bahas itu lagi! Homo, pengangguran, miskin. Iya, memang begitu adanya. Tidak perlu membesarkan maasalah, walau masalahnya memang besar. Dia merasa hinda terlahir ke dunia ini. Lalu mau menghujat Tuhan? Silakan, Wirya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jancuk!
General Fiction"Aku jancuk yang itu, yang mengangkang gagah menggantang. Aku jancuk yang njancuki, yang hanya mengizinkan penis besar bersarang di lubang anusku. Aku jancuk yang sedang mencari jati diri, atau mungkin mencari penis yang mampu memuaskan hasratku. Ka...