U

10.7K 865 105
                                    

Wirya bungkam.

Matanya mengerjap beberapa kali. Jutaan air masih mengguyur. Musim penghujan yang merepotkan. Abangnya belum pulang dari warung. Wirya hanya bungkam sembari memikirkan siapa yang harus dia percaya saat ini. Dia ingin jadi tukang ojek saat ini. Beberapa juta ada di kantong. Rekeningnya sudah memungkinkan untuk membeli motor. Dia tidak tahu kalau pekerjaan melacurnya itu bisa membuatnya punya banyak uang.

Azan berkumandang.

Wirya tergolek lemas di atas kasur lapuknya. Dia harus memikirkan rencana ke depan. Tidak mungkin bekal uang sekian juta ini cukup untuk kehidupannya beberapa tahun mendatang. Dia harus realistis.

Maka kemungkinan paling masuk akal adalah....

Berjualan pulsa.

-U-

Semua hal soal hidup telah menghujat Wirya. Tidak ada yang aneh dengan banyak hal yang bukan urusannya. Maka dia mulai membeli beberapa kartu perdana dan juga pulsa elektrik. Maka setelah itu dia mulai membuka sebuah etalase di depan rumahnya. Hidup ini sudah susah, tidak cukup susah kalau kalian mengabaikan rasa malu. Kecuali untuk berbuat hina.

Oh, jangan cemas!

Jancuk lain di depan sana sedang menantinya. Hidup Wirya adalah sebuah jalanan dengan kerikil tajam. Dia akan selalu melewati kerikil-kerikil itu. Entah kakinya yang bisa lecet nanti, atau dia tersandung dan terjatuh lalu berdarah.

Itulah hidup.

Wirya tersenyum lagi. Beberapa orang begitu tertarik padanya, lalu membeli pulsa dan sekedar ingin tahu. Wirya tidak mempermasalahkan itu, selama mereka juga tidak membahas privasinya.

"Mas Wirya sekarang jualan pulsa, ya?" Ibu-ibu tetangga merepet ke arahnya. Wirya berdecih dalam hati.

"Iya, bu. Mau beli yang berapa?"

"Hehehehe... beli yang lima ribu. Tapi... hehehehe... ngutang, ya!"

Jancuk!

Tidak ada yang mulus di dunia ini. Tidak ada, sungguh! Tuhan akan selalu mempermainkan nasibmu. Kalau kamu senang dengan nasib yang diberikan Tuhan, maka kamu lolos menjadi sahabat Tuhan. Kalau kamu tidak senang dan menghujatNya, lebih baik kamu segera tobat.

Lalu Wirya?

Dia memilih jalan tengah. Dia tidak ingin tahu. Tapi juga peduli. Jadi atheis pun dia tidak bisa. Abangnya lelaki yang taat beragama. Wirya berdehem.

"Kapan mau dibayar, bu? Saya juga butuh modal untuk beli pulsa lagi."

Wirya berdehem.

Ibu itu melengos, lalu menatap wajah Wirya dengan nada meremehkan. Matanya menatap wajah ibu itu.

"Dibayar kok nanti!" Ibu itu berteriak kencang.

Jancuk!

Wirya mencoba menahan sabar dan tersenyum dengan wajah ramah. Dia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Melawan salah karena dia masih diajari moral oleh abangnya. Namun kalau tidak melawan dia pasti akan disiksa lagi.

Sayangnya ibu itu bukan satu-satunya masalah. Wirya mengalami masalah lain. Tiba-tiba saja pak RT yang biasanya tidak pernah berkunjung ke gubugnya kini muncul di depannya. Wirya merengut. Tumben sekali!

"Iya, ada apa, pak?"

Pak RT menghela napas, lantas duduk tenang di sebelah Wirya. Wirya penasaran, menunggu apa yang akan pak RT katakan.

"Begini, nak Wirya..."

Jancuk! Wirya merasa ada yang tidak beres dengan semua ini. Tumben pak RT datang dan tampak bicara dengan wajah tidak enak seperti ini.

Jancuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang