Kehidupan yang Wirya kira menyenangkan itu ternyata salah. Dia tidak senang sama sekali. Banyak lelaki yang menghubunginya sekarang, bertanya dimana dia. Lalu hidup penuh jancuk kembali dia mulai. Lagi pula, seseorang pernah mengatakan kalau jancuk itu seperti pisau. Dapat membunuh orang, namun juga dapat digunakan untuk memasak. Wirya menatap wajah abangnya yang sedang tertidur.
Dia merasa bersalah.
Sangat.
Ketika dia mencoba menjancuki hidup, maka jancuk-jancuk lain juga akan menghampirinya. Maka sejatinya jancuk yang benar adalah sebuah kenyataan hidup yang sesuai dengan keinginannya.
Maka semuanya dimulai dari sini.
"Kamu kenapa menjauh dari aku?" Lagi-lagi Sony bertanya tajam. Wirya melotot kaget, bengong ketika melihat Sony berdiri di sebelahnya. Wirya sedang berada di kawasan pertokoan setelah berdebat dengan abangnya tadi.
"Mas Sony?"
"HP kamu juga selalu nggak aktif!"
Jancuk!
"Aku harus pergi, mas. Aku buru-buru..."
"Tunggu!" Sony mencekal lengannya. Wirya menoleh malas. Dia tidak suka dengan lelaki ini salah satunya adalah karena lelaki ini begitu posesif dan pengekang. Belum lagi tingkahnya yang semaunya. Dia biasa bermain dengan banyak wanita, namun menginginkan Wirya untuk berada di dekatnya.
Jancuk!
"Wirya?" Suara lain terdengar.
Jancuk! Apa lagi ini?
Wirya cemas. Kepalanya menoleh spontan ke arah sumber suara. Ada Ardi di sana, berdiri menatapnya dengan raut kaget. Mata Ardi terarah pada lengan Wirya yang dicekal oleh Sony. Jancuk!
Mampus!
"Mas Ardi?"
Alis Sony naik. Dia menatap Ardi dengan tatapan memicing.
"Oh, jadi punya mas lain, nih?"
Jancuk!
"I... Itu..." Fix, Wirya seperti orang yang sedang ketahuan selingkuh. Oh, apa ini rasanya berada dalam kondisi yang menjijikkan seperti ini? Wirya menggaruk tengkuknya. Dia tidak tahu harus bagaimana sekarang.
"Aku nggak peduli kamu tidur sama siapa aja di luar sana, tapi kamu masih milikku Wir!" Sony berkata tajam.
Jancuk, lah!
"Kamu kenapa ganti nomor?" Kali ini Ardi mendekat. Wirya makin muak dengan semua ini. Dia sudah menjelaskan dengan gamblang soal posisinya di hadapan mereka. Wirya ingin bebas saja.
"Kalian berdua memuakkan! Hubungan kita hanya di ranjang," geramnya kencang. Ini jadi mirip sinetron perebutan wanita. Wirya jijik pada dirinya sendiri. Semalam abangnya mengomel panjang dan lebar. Luas sekali. Wirya menelan ludahnya gugup, lantas berbisik pelan pada keduanya. Tajam.
"Aku udah nggak tertarik sama penis kalian! Kalian cari saja yang lain!"
Wirya melepaskan diri, lalu menatap wajah mereka satu persatu. Satu alasan tidak masuk akal yang membuat kedua lelaki itu mengernyit tak percaya.
"Aku sudah tobat. Aku bukan homo."
Jancuk!
Jelas-jelas itu hanya khayalan.
"Aku nggak percaya!" Sony berkata tajam padanya. Wirya menaikkan alis, bersedekap di dada. Matanya menyipit. Senyum menawan itu masih nampak di bibirnya. Tangannya menepuk bahu kedua lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jancuk!
General Fiction"Aku jancuk yang itu, yang mengangkang gagah menggantang. Aku jancuk yang njancuki, yang hanya mengizinkan penis besar bersarang di lubang anusku. Aku jancuk yang sedang mencari jati diri, atau mungkin mencari penis yang mampu memuaskan hasratku. Ka...