Setahu Wirya, Yogi itu juga miskin. Dia tidak punya rumah bagus, namun lebih layak daripada rumahnya. Yogi tinggal sendiri, tidak bersama dengan orang tuanya. Semua hal soal Yogi masih belum Wirya ketahui. Lelaki itu masih saja tersenyum lembut padanya. Dia selalu membawa kotak bekal untuk Wirya, meski Wirya pernah mengatakan tidak perlu. Namun lelaki itu masih ngotot untuk melakukannya.
"Aku nggak mau merepotkan."
"Ini sama sekali tidak merepotkan, kok!"
"Aku harus bayar berapa buat makan siang?"
Yogi menggeleng, tergelak geli kemudian. Kejadian kemarin menciptakan kecanggungan di antara mereka. Atau mungkin dari sisi Wirya. Wirya merasa canggung karena Yogi sudah tahu dirinya homo. Sedangkan Yogi tidak mempermasalahkan itu.
"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini." Yogi menghembuskan napas. Wirya trenyuh mendengar cerita lelaki itu. Setidaknya Wirya masih punya kakak.
"Kakak kuat, ya!" Wirya memuji.
Kalau dia sendirian, mungkin bisa saja Wirya jadi bajingan. Jadi jancuk yang tidak bermartabat. Dia akan hidup semaunya, dan juga tidak peduli pada hal-hal lainnya. Wirya akan selalu hidup bebas dengan keinginannya.
"Kita harus kuat kalau ingin hidup."
"Dan kamu juga murah senyum."
"Hidup nggak akan berubah kalau kita mengumpat."
"Padahal aku sering banget bilang jancuk, gitu! Biar semua tahu kalau aku marah. Hanya sebuah ungkapan kalau aku protes."
Lagi-lagi Yogi terkikik geli.
Jancuk!
Senyum itu manis sekali. Wirya mengumpat pada dirinya sendiri. Dia bisa jadi binal kapan pun dia mau. Padahal lelaki yang sedang tersenyum tulus padanya itu tidak sadar soal itu.
Wirya menghabiskan waktu bersama dengan Yogi. Mereka bekerja seperti biasanya. Terkadang kakek mengunjunginya sambil membawa barang-barang. Kakek selalu baik hati. Selalu membawakan makanan untuknya. Duh, kadang manusia yang baik tidak pantas hidup di dunia yang penuh dengan kejancukan ini. Mereka masih saja baik.
"Sudah betah?" Kakek bertanya pelan. Wirya mengangguk pelan sambil tersenyum.
"Iya, kek. Saya nggak tahu bagaimana harus berterima kasih."
"Juga dekat sekali dengan nak Yogi, ya! Syukurlah kalau kalian bisa jadi dekat."
Jancuk!
Itu sama sekali tidak membantu. Nafsunya terkadang mengerang, mengangkang. Mengadilinya akan sebuah ironi kasat mata kalau dia hanya butuh dibelai. Dia masih mencoba bertahan dengan apa yang sudah dia putuskan. Dia tidak boleh merusaknya lantaran keinginannya. Dia bungkam. Terangsang.
"Yogi itu anak sulung. Dia masih punya adik perempuan, jadi dia bisa jadi abang buat kamu, nak!"
Jan...
Tunggu! Sulung? Punya adik perempuan? Bukankah Yogi mengatakan kalau dia sudah yatim piatu dan tidak punya siapapun lagi di dunia ini?
Cuk!
Wirya hanya perlu bertanya soal ini pada Yogi. Kenapa dia harus berbohong. Kalau hanya untuk mendapatkan simpatinya, mungkin itu tidak perlu. Karena Wirya sendiri juga tidak begitu peduli dengan kehidupan orang lain.
Langit tidak lagi mengadili akhir-akhir ini. Langit tidak menangis. Langit seolah sedang tersenyum padanya. Wirya bungkam dengan wajah malas. Yogi datang seperti biasa, menghampirinya ketika jam makan siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jancuk!
General Fiction"Aku jancuk yang itu, yang mengangkang gagah menggantang. Aku jancuk yang njancuki, yang hanya mengizinkan penis besar bersarang di lubang anusku. Aku jancuk yang sedang mencari jati diri, atau mungkin mencari penis yang mampu memuaskan hasratku. Ka...