Jancuk!
Siapa bilang hidup itu mudah? Kalau memang mudah, sudah sejak dulu tidak ada manusia nyinyir di dunia ini. Manusia yang mendongak pongah, yang terus saja mengoreksi yang lain tanpa bercermin pada dirinya sendiri. Manusia yang merasa benar walau dirinya masih jauh dari benar, yang bersikap tahu padahal sok tahu, yang bertingkah pongah padahal salah.
Tidak ada yang benar di dunia ini. Kebenaran hanya milik Tuhan semata! Dengar itu! Walau kalian sialan dan jadi orang yang njancuki, setidaknya kalian tahu siapa pencipta kalian yang sebenarnya. Jadi hentikan tingkah congkak berlebihan menjijikkan itu!
Jancuk!
Nah, jancukilah dirimu sendiri, hidupmu sendiri, maka setelah itu kamu akan tahu kalau hidupmu tidak sesempurna apa yang ada dalam bayangan. Pun begitu soal hidup Wirya. Dia akan selalu menghujat hidupnya. Hidup yang penuh rahmat, yang penuh berkah. Namun ketika bibir tidak dapat berkata berapa banyak yang kau dapat, maka bolehlah satu kata itu kamu ucapkan.
Jancuk!
Puas mengatakannya? Iya, sama.
Sejatinya hidup itu seperti kalian sedang berjalan, lalu kalian tersandung batu. Jatuh. Atau sesekali kalian menginjak kotoran. Bau. Lalu berkelanjutan hingga nanti. Tidak ada hal yang membuat segalanya serba menjanjikan jika dia hanya pasrah. Orang-orang di sekitar Wirya pun juga sama-sama njancuki.
Menjelang siang hari Wirya masih berdiam diri di kiosnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Matahari terik menantang, menampakkan wajah menggerayang ganas. Wirya menghela napas, menatap orang yang mondar-mandir pulang. Pedagang banyak yang sudah pulang karena barang dagangannya sudah habis.
"Kios sepi, nggak?"
Pemilik kiosnya mengirim SMS padanya. Wirya membalasnya, mengatakan kalau memang sepi jam segini. Panas terik begini pembeli lebih memilih mall atau swalayan meski untuk sekedar mendinginkan tubuh. Tak berapa lama kemudian pemilik kios datang, bergandengan tangan bersama seorang wanita seksi. Bukan istrinya.
Wirya melongo.
"Jangan bilang-bilang ibu! Mati kamu kalau sampe ibu tahu!"
Jancuk!
Saatnya bertemu satu lagi orang Jancuk di dunia ini. Orang yang akan selalu mencari kesalahan dalam selangkangan pelacur. Orang yang lebih memilih mengangkang daripada menutupi harga dirinya.
"I.. Iya, pak." Wirya diam setelah itu. Di belakang kios ada kamar kecil. Kamar itu sempit, namun muat kalau hanya diisi dua orang. Berbagai pikiran berkecamuk dalam otak Wirya. Pemilik kios masuk dalam kamar itu bersama wanita tadi.
Mereka pasti akan nyenuk siang bolong begini.
Tahu ingin bicara apa?
Jancuk!
Wirya bingung. Dimana seharusnya dia berada. Ini memang bukan urusannya. Dia tidak ingin tahu, sungguh. Namun dia tidak ingin kena dampak dari kesalahan orang njancuki seperti lelaki pemilik kios ini.
Sayangnya, siang itu naas baginya. Wirya tidak tahu kalau kesialan sedang menyapanya. Siang terik menjadi saksi bagaimana dunianya seakan dibalik dalam sekejap. Ini belum satu bulan dia bekerja di kios ini.
"Lihat bapak di sini?" Nyonya pemilik kios ini datang sekonyong-konyong. Wirya menelan ludahnya gugup.
"Eh...?" Bingung menderanya. Dia takut menjawab, namun juga bingung untuk diam saja. Lalu wanita menor itu melangkah masuk ke dalam kios. Wirya menelan ludahnya. Dia tidak bisa menahan wanita itu. Insiden mengerikan itu pun terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jancuk!
General Fiction"Aku jancuk yang itu, yang mengangkang gagah menggantang. Aku jancuk yang njancuki, yang hanya mengizinkan penis besar bersarang di lubang anusku. Aku jancuk yang sedang mencari jati diri, atau mungkin mencari penis yang mampu memuaskan hasratku. Ka...