N

14.6K 968 94
                                    

Jancuk!

Maka setelah sekian lama mencari jati dirinya sendiri, Wirya teringat soal kenyataan hidup. Dia sudah lelah dengan kata menantang norma. Dia sudah muak dengan kata menjalani takdir. Kini dia dihadapkan pada situasi dimana dia harus mengenyahkan segala gengsi yang melekat dalam dirinya. Dia hidup bukan untuk mematuhi hukum dan aturan. Norma dan yang lain tidak membuatnya kenyang. Selama dia tidak merugikan orang lain, maka terobos saja. Itu yang Wirya pikirkan saat ini.

"Abang darimana?"

"Wir, abang mau ngomong." Abangnya bicara serius. Wirya mendongak, menatap Wirman dengan raut ingin tahu. Siang terik di luar, menjerit tentang betapa panasnya hari ini. Wirman duduk di atas kursinya, bersiap mengatakan sesuatu pada adiknya.

"Abang mau ngomong apa?"

Wirman berdehem sekilas.

"Abang dapat kerjaan baru."

Jancuk!

Ketika dia sedang asyik tiduran di kasur apeknya, abang sudah bergerilya mencari pekerjaan. Lalu semudah itu mendapatkannya. Cuk!

"Kok abang udah dapat kerjaan? Jadi apa?" Wirya iri.

"Abang tadi nggak sengaja lihat, Wir. Lalu ada lowongan buat jadi pedagang bakso. Abang bantuin jual bakso."

Setidaknya Wirman punya kemampuan. Dibanding dengan dirinya yang hanya bisa ngaceng tiap kali melihat badan lelaki. Lalu selangkangannya yang menggembung, menantang, menantang, merangsang. Wirya iri sekali dengan peruntungan abangnya yang bisa mendapatkan hal baik secepat ini.

Apa mungkin karena dia homo?

Atau kita perhalus saja dengan nama gay.

Jancuk!

Itu sama saja, tidak ada pengaruhnya. Mau homo atau gay, seleranya terhadap penis tetap saja tidak akan berpengaruh. Padahal tidak ada kolom orientasi yang harus diisi ketika melamar kerja, dan lagi-lagi dia harus terpuruk karena Tuhan seperti sedang bermain dengan nasibnya.

Dia tidak berhak menghujat Tuhan. Karena Tuhanlah dia bisa hidup sampai sekarang. Jadi dia tidak boleh jadi makhluk dan manusia yang tak tahu diri. Cukup satu kata itu saja yang selalu muncul, meski dia ingin mengomeli Tuhan sesekali.

Lah, kamu beribadah saja tidak pernah, kok lantas minta sama Tuhan? Tidak mengenal Tuhan, tapi menyalahkan Tuhan. Ada ya manusia seperti itu? Oh, banyak!

Wirya sedang mencari jati dirinya saat ini. Jadi pekerja kantoran tidak akan pernah bisa. Pendidikan rendah. Dia keluar dari SMP. Jadi office boy juga tidak berhasil. Jadi pramuniaga, lalu penjaga kios... semuanya gagal. Alasan? Karena wajah dan tingkah!

Jadi jelek salah, jadi ganteng juga salah.

Kan jancuk!

Wirya melihat kartu nama lusuh yang tergeletak di atas meja. Matanya mengerjap. Dia sudah meluluh-lantahkan segala gengsi dan norma saat ini. Lantas dia hubungi seseorang di sana. Bukan lelaki yang membeli duku waktu itu, kali ini berbeda lagi. Lelaki lain yang pernah secara tidak sengaja meninggalkan kartu nama untuknya.

Setelah memasuki lubang pantatnya.

Maka, hidup penuh kejancukan siap dia jalani mulai sekarang.

"Hallo..." Suara itu menyapa dari seberang sana. Wirya berdehem sebentar. "Wirya?" Suara itu kembali berteriak kencang. Wirya menjauhkan HP dari telinganya dan kembali berdehem lagi.

"Iya..."

"Kamu kemana saja, sayang? Saya telepon nomor kamu tapi sudah nggak terdaftar."

Wirya berdehem. Dia sengaja mengganti nomornya karena dia memang tidak terlalu tertarik untuk menghubungi lelaki itu. Lelaki pertama yang membobol lubang anusnya. Lelaki pertama yang mengajarinya soal seks. Soal bercinta. Sony.

Jancuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang