JAN

9.7K 840 174
                                    

Wirya masih saja kesal karena tragedi menjijikkan kemarin. Dia masih kesal pada Yogi tanpa sebab. Baginya Yogi terlalu masokis, menerima segala macam hal yang membuatnya tersiksa. Yogi begitu menikmati ketika disakiti. Wirya geram ketika membayangkan ekspresi Yogi yang terlihat santai dan tetap ramah.

"Abang nggak marah gitu pas dihina?" tanya Wirya kesal. Yogi di sana hanya bungkam, menatap mata Wirya dengan penuh kelembutan seperti biasa.

"Karena itu tidak benar, jadi ya tidak perlu marah."

"Benar atau nggak, hinaan adalah hinaan. Sama kayak abang main pisau, mau disengaja atau nggak kalau tergores ya pasti luka!" Wirya tidak tahu sejak kapan dia sudah mulai senang membuat perumpamaan. Filosofis.

Jancuk!

Yogi menghela napas. Dia sama sekali tidak tersinggung ataupun marah. Dia pemaaf sekali, tidak pendendam seperti Wirya. Padahal itu bukan urusan Wirya, namun lelaki itu kesal setengah mati hanya karena melihat reaksi Yogi.

"Sudah, tidak apa-apa!" Yogi menyentuh puncak kepala Wirya, mengacaknya lembut sesekali. Wirya berdecih. Tiap kali Wirya marah, Yogi selalu melakukannya. Hasilnya Wirya malah menurut setelah itu.

Jancuk!

Wirya malah menurut saja ketika Yogi melakukannya. Wirya tunduk hanya dengan perlakuan serupa itu. Tidak! Tidak boleh! Wirya tidak boleh jatuh hanya karena perlakuan seperti ini dari Yogi.

"Tapi tetep aja..." Wirya merengut. Cemberut. Yogi menaikkan alisnya, lalu tersenyum lebar. Dia makin sayang pada lelaki manis ini. Sayang? Tunggu dulu! Sayang yang bagaimana?

Entahlah, Yogi menyukai ekspresi Wirya yang tulus apa adanya. Ekspresi ketika dia senang, ketika dia sedang marah, dan ekspresi ketika bersama Yona. Dia terlihat dewasa dengan caranya, mengayomi anak yang lebih muda dan juga jadi kakak yang baik.

"Masih bete?" Sekali Yogi terkikik geli. Wirya memalingkan wajahnya. Tangan Yogi masih bertengger nyaman di kepala Wirya.

Jancuk!

Perlakuan Yogi membuat Wirya panas dingin tak karuan. Sebenarnya dia juga bingung apa yang sedang dia hadapi. Wirya sepenuhnya tidak percaya dan tidak pernah peduli dengan hal bernama cinta dan hal njancuki lainnya. Dia hanya suka dengan hal-hal yang realistis.

Ingin disayang?

Jancuk!

Memangnya semudah itu untuk mengubah rasa menjadi hal yang seharusnya? Wirya masih belum percaya kalau cinta bisa membuat orang bahagia semudah itu. Lagipula bagaimana mereka bisa bahagia karena hal-hal abstrak mencurigakan seperti itu? Tidak mungkin!

Wirya tidak akan menyerahkan hatinya untuk cinta, karena nyatanya dia sendiri juga tidak percaya cinta itu ada. Wirya belum pernah dicintai. Sony? Oh, dia hanya menginginkan tubuh Wirya. Sedangkan Wirya menginginkan uangnya. Jadi hubungan mereka tidak lebih dari sebuah simbiosis. Simbiosis mutualisme.

"Aku cuma kesal."

Yogi tertawa dengan suara renyahnya. Meski Wirya bicara dengan nada kesal, marah dan juga kasar padanya, Yogi selalu saja menjawabnya dengan senyum. Lalu nada ramahnya itu mengikuti. Wirya semakin muak dengan perlakuan Yogi yang terlalu baik itu. Yogi akan marah kalau dia merasa putus asa dan juga ketika orang yang dia sayang diambil orang lain.

"Aku boleh nanya sesuatu?" Entah sejak kapan Wirya sudah mulai tertarik dengan pembahasan seperti ini. Yogi menaikkan alisnya. Menunggu.

"Boleh."

"Abang pernah bilang kalau abang akan marah jika orang yang abang sayang diambil orang lain. Lalu sama cewek yang kemarin itu gimana?"

Yogi menaikkan alisnya lagi. Gestur itu muncul ketika Yogi sedang ingin terkikik geli karena sebuah pertanyaan.

Jancuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang