aku memang menyukainya

118 5 0
                                    

Desember, 2008
***

"Kau menyukainya, bukan?"

Kemilau daun kamboja berdiri di sudut lapangan basket sekolah merangkap lapangan futsal, bersinar lembut diterpa matahari sore. Hujan di bulan Desember selalu penuh kekuatan, meski kali ini ia hanya memamerkannya selama beberapa jam.

Bandung pun tidak luput dari global warming bukan?

Aku duduk di bangku batu yang muat diduduki tiga orang, berdiri berjejer sebanyak dua buah di setiap sisi, kecuali di bagian bawah ring. Aku duduk di tempat terdekat dengan pohon di bagian paling sudut, mengamati lapangan basket yang penuh dengan genangan air, sementara langit di atas kami tertutup awan kelabu, terlihat siap untuk kembali mencurahkan isinya.

Di sampingku, anak laki-laki berkacamata dengan gagang hitam menatap sendu ke arah genangan air itu. Sekolah sudah lama bubar, tapi ia masih tetap di sana. Duduk tanpa benar-benar memperhatikan apapun. Aku bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya yang selalu penuh labirin rumit itu, hingga matanya yang bermanik gelap selalu terlihat sedalam danau tanpa dasar di musim dingin --tak terbaca.

Yah, dari dulu dia memang selalu begini. Aku bahkan lupa kapan dia tertawa tanpa beban --lepas seperti angin musim semi.

"Sora?"

Sora melirikku. Ekspresinya kaku --seperti biasa. Ia harus lebih banyak tersenyum, memperlihatkan sudut mata yang berkerut samar di balik lensa kacamatanya. Tapi Sora jarang melakukannya. Jika dia tersenyum atau tertawa --seringnya tawa datar tanpa humor-- hanya akan dilakukannya bersama orang-orang yang memang benar-benar telah mengenalnya dengan cukup dan sangat dekat. Seperti aku. Dan Shane. Dan sesekali Aika.

Dan dia.

"Siapa maksudmu?"

"Kau tahu maksudku," ucapku tidak sabar. "Edelweiss,"

Ekspresi datar Sora sedikit berubah. Kedua pipinya bahkan memerah. Sora yang tidak pernah kulihat memerah, sekarang memerah.

"Aku tidak memandang Ais seperti itu," sangkal Sora.

"Kau memang memandang Ais seperti itu," aku bersikukuh. "Kau menyukainya, tapi tidak berani mengungkapkannya,"

Rasanya sore ini menjadi lebih dingin, ketika hanya rok biru yang aku kenakan di bawah kemeja putih yang melalui kaus olahraga. Tapi Sora terlihat baik-baik saja, terlihat tidak terganggu meski angin lebih keras menghantam tungkainya yang telanjang.

"Apa itu membuat perbedaan?" tanya Sora, suaranya setengah melamun. "Dari awal dia bukan siap-siapa,"

Aku langsung memukulnya, tepat di kepala. Membuatnya hampir terjungkal ke depan, dan kacamatanya nyaris terpelanting ke kekubangan air.

Well, aku tidak menyesal kok. Sungguh.

"Kau bercanda?!" aku berdiri, berkacak pinggang. Mengabaikan seringai kesakitan Sora dan sorotan matanya yang seolah ingin melemparkan ke kabaran api atau lubang hitam sekalian. Dia terlihat seperti anak SMP di tahun akhir mereka, tapi aku tahu otaknya lebih dari itu. Namun aku juga tadi jiwanya masih terperangkap di bangku kelas 6 SD.

Hanya saja, aku tidak tahu jalan pikirannya seperti apa. Fakta yang membuatku begitu kesal hingga membuatku sangat, sangat tidak terima.

"Ais yamg membawamu menyentuh piano lagi, bisa membuatmu mendengar musik tanpa muntah, bisa membuatmu mencintai Beethoven, Bach, Chopin dan teman-temannya lagi. Ais yang membuatmu bisa mengembalikan reputasimu yang memudar sejak tiga tahun lalu. ais yang membuatmu bisa memenangi concour itu lagi," teriakku, seolah Sora berada jauh di ujung langit, alih-alih di hadapanku. "Ais yang mengembalikan dirimu lagi, dan kau malah mengatakan hal yang kejam begitu," kali ini aku mengayunkan kakiku ke depan, menendang tungkainya sekuat tenaga. "Idiot!"

Bayangan gadis berambut terurai panjang seperti mayang dengan senyum lembut keibuan, menjelma di hadapanku seperti gambar 3D. Edelweiss, seorang remaja cantik dan anggun seperti namanya, adalah teman sekelasku sejak awal tahun terakhirku di SMP. Dia gadis yang sangat baik.

Dan seorang vilonis berbakat bebas.

Edelweiss adalah vilonis tanpa ikatan uang mampu menarik keluar beban Sora --salah satu hal yang tidak pernah bisa kulakukan sebagai teman terdekatnya, yang telah mengenalnya sejak kami baru bisa mengeja kata. Salah satu hal hebat dari banyak hal yang tidak bisa kulakukan. Termasuk membangunkan dan menarik keluar jiwa pianis jenius seorang Sora Angelo.

Entah kenapa, jauh di dasar hatiku rasanya seperti ada yang mendadak melorot hilang. Mengurai dan lenyap di dalam kegelapan. Aku tidak tahu apa itu, tapi menyatakan dan mengingat semua hal yang dilakukan Edelweiss untuk Sora, hal-hal yang tidak bisa kulakukan untuknya, sedekat apapun kami, membuatku sesak. Rasanya ada iri yang menyeruak seperti duri, menusuk hatiku kemudian mengoyaknya.

"Kau bisa mengatakannya tanpa mencideraiku, bukan?" Sora menatap kesal dari balik kacamatanya yang berlensa tebal.

Aku mendengus. "Setidaknya bukan jemari yang kupatahkan,"

Tidak terdengar gerakannya selama sekian detik, tiba-tiba Sora berdiri menjulangkan tubuhnya yang sudah sekepalan tangan lebih tinggi dariku.

Padahal dulu dia jauh lebih pendek. Dan lebih kecil --meski sekarang masih tetap ramping seperti vampir kurang gizi.

Bahkan Sora pun sudah mulai bertumbuh.

Fakta ini, kenyataannya, tetap membuatku kaget.

"Kau benar," kata Sora sederhana. "Aku memang menyukainya,"

Dan fakta yang satu ini, kenyataannya, jauh lebih membuatku kaget.

Seolah aku belum mengetahuinya saja. Padahal akulah yang tadi bersikeras memaksanya mengaku.

Pembenaran sederhana itu, yang diucapkan dan seluas pernyataannya terhadap kecintaannya terhadap piano dan musik klasik, betapa tergila-gilanya ia terhadap Beethoven, mampu membalik duniaku saat itu juga, seratus delapan puluh derajat. Seolah aku sedang berdiri dengan kepalaku alih-alih tegak di atas kedua kaki.

Padahal aku sudah tahu.

Tapi kenapa rasanya mengejutkan?

Dan menyakitkan?

Karena itu, mungkin hanya Tuhan-lah yang tahu apa yang akan --atau tidak-- kulakukan kalau saja Shane tidak kembali dari kelas kami yang kosong untuk berganti seragam, menyapa kami dengan keceriaan mutlaknya, seolah tak ada apapun yang terjadi.

"Hai domba-domba kecilku yang tidak lucu," katanya riang. "Siap untuk kembali ke kandang?"

Dan aku bahkan tidak punya tenaga untuk menendang Shane untuk kalimatnya yang seenak jidat, karena uang kulakukan selanjutnya adalah menyambar tas dan melintasi lapangan.

Aku bahkan tidak peduli sepatuku menginjak genangan air, dan basah karenanya.

Karena rasanya hatiku sudah tenggelam duluan, dan itu berarti diriku sepenuhnya sudah basah kuyup.

Jadi apa artinya sepatu yang basah, kan?

***

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang