i saw you crying

56 2 0
                                    

"Apa kalian hanya akan diam di rumah seharian ini?”

Saat itu, aku sedang duduk di depan televisi setelah membantu Oma membereskan perkakas sarapan kami, leyeh-leyeh sambil mengganti-ganti siaran tivi yang tayangannya sebagian besar semakin tidak bermutu; acara musik nggak jelas, gosip, FTV bodoh yang ceritanya terlalu tipikal. Aku merasa sangat mengantuk karena semalam baru bisa tidur setelah pukul tiga pagi, dan bangun lagi jam lima subuh. Rasanya kepalaku terasa ringan dengan cara yang sangat aneh sekarang, dan keinginan untuk tidur terlalu besar sampai-sampai aku memilih mengabaikan sosok-sosok tidak jelas yang sedang wara-wiri di layar kaca.

Sementara itu, di sebelahku Sora duduk dengan kepala ditekuk, sementara tangannya sibuk mengelus-elus layar tablet. Ia terlihat baik-baik saja, dan mau tidak mau aku mendadak kesal. Saat aku menangis semalaman dan hampir tidak tidur, dia terlihat segar bugar pagi ini.

“Hm… apa Oma mau pergi?” tanyaku tidak yakin sambil menahan kuap. “Mau kami temani?”

Oma geleng-geleng kepala. “Bukankah besok kalian sudah akan pergi? Mubazir sekali menghabiskan hari ini dengan di rumah saja,” beliau mendekat, menepuk pundak kami berdua. “Gih, sana main ke luar. Oma bosan melihat kalian yang hampir mati bosan,”

Aku meringis. “Kurasa… kami hanya akan di rumah,” kataku, melirik Sora yang masih menekuri tabletnya tidak yakin.

“Kami akan pergi,” sahut Sora tanpa di duga. Wajahnya terangkat untuk menatap Oma yang masih berdiri di belakangnya. “Siang nanti,”

“Kami? Kita?” aku melongo, menatap Sora tidak percaya. Kantukku mendadak hilang. Memangnya mau kemana? “Kapan aku bilang begitu? Aku tidak ingat pernah membuat rencana itu,”

“Barusan,” Sora mengangkat bahu, wajahnya lempeng, nada suaranya datar. “Kita baru saja melakukannya,”

Menatapnya dengan mata lebar,  aku praktis ternganga. Apakah dia baru saja melontarkan sesuatu yang terdengar seperti lelucon garing, atau keseriusan yang terdengar seperti lawakan? Aku tidak yakin yang mana.

Yang kuyakini adalah, ini jelas tidak akan menjadi perjalanan yang menyenangkan.

***

“Bukankah itu bagus?” Tanya Aika dengan nada senang.  “Itu seperti kencan, kan,”

Kencan? Cih, kencan opungmu! “Oh, tentu saja, jika aku pergi dengan seseorang yang menyukaiku dan aku pun menyukainya,” aku menggertakan gigi, berusaha menahan sabar. Tanganku yang memegang gagang sisir mencengkram erat, sementara wajahku terlihat benar-benar memerah di pantulan cermin berukuran sedang itu. Aku sedang bersiap-siap untuk ‘kencan’ absurd dengan Sora saat Aika menelpon, menodongku dengan berbagai pertanyaan, menyuruhku menceritakan semua hal yang terjadi hingga sedetail mungkin. Seolah aku punya cukup waktu dan kesabaran saja, saat perasaanku campur aduk begini. Terutama mendengar tanggapan ringan dan bahagianya mengenai rencanaku dan Sora siang ini.

Ng, rencana Sora yang melibatkanku, sih, tepatnya.

“Kau memang menyukainya,” sahut Aika. “Jadi ini memang kencan,”

Aku menghembuskan napas, keras-keras. Kunciranku bergoyang-goyang sementara kepalaku bergerak gelisah. “Aku sedang menghindari momen berdua dengannya, Ai. Maksudku, setelah apa yang ditanyakannya semalam. Aku tidak siap jika ia menanyakan hal yang sama, atau hal lain yang sehoror itu,” aku mendesah. “Itu hanya akan memperparah hubungan kami. Cukup ia pergi hanya dengan membenciku, seperti sebelumnya. Aku tidak ingin menambahkan perasaan lain, membuatnya menambah kenangan buruk lain atau semacamnya,”

Di seberang sana, Aika ikut mendesah. “Aku tidak tahu harus berkata apa,”

“Kau tidak perlu mengatakan apapun,” sahutku, bersamaan dengan ketukan pelan di pintu kamarku. “Nah, kurasa aku harus pergi sekarang. Menikmati ‘kencan’ neraka-ku,”

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang