Aku Mencintaimu

55 2 0
                                    

“Silahkan, macaroni panggangnya,” kata seorang pelayan pria yang menyuguhkan dua porsi macaroni panggang dan dua gelas orange juice di meja kayu berpelitur di depanku dan Sora.

Aku menggumamkan terimakasih kepada pelayan itu sebelum ia berlalu, kemudian mulai mempelototi macaroni panggangku yang berukuran medium.

Sora mengajakku makan malam di Macaroni Panggang yang terletak tepat di depan Taman Kencana, tidak terlalu jauh dari Botani Square. Suasana restoran ini cozy dan menyenangkan. Di lantai dua bangunan ini, tempat kami memilih untuk duduk di tepi jendela besar yang kedua daun putihnya membuka memperlihatkan lampu-lampu jalanan dan rumah yang menerangi kegelapan malam di bawah sana, terasa seperti suasana bar atau restoran jaman dulu, dengan lampion gantung rendah di atas meja kami. Secara keseluruhan, tempat ini didominasi dengan warna cokelat kayu dan putih, dan beberapa aksen bata pada jendela melengkung kecil yang memperlihatkan ruangan lain lebih ke dalam, tempat segerombolan orang tertawa-tawa di sekeliling meja billiard.

“Apakah itu cara makan baru?” kudengar Sora berkata. “Hanya dengan melihatnya saja,”

Aku mendongak, kemudian menunduk lagi, memperhatikan macaroniku yang terletak di atas kertas perak di dalam mangkuk lonjong. Macaroni itu masih utuh, tapi aku bahkan tidak berniat memakannya meski aromanya mulai membuat tenggorokanku berdeguk.

“Aku baru akan memakannya,” kataku kemudian sambil mengambil sendok dan garpuku. Saat merasakan tekstur lembut macaroni panggang menyentuh indra perasaku, lalu turun menuju alat pencernaanku, aku kembali nelangsa.

Teringat ketika akhirnya Sora menghampiriku setelah turun dari panggung dan berbasa basi dengan para promotor serta band asli yang akan tampil –yang menatapnya penuh pemujaan, ia lagi-lagi menatapku dengan mata gelap yang dingin dengan ekspresi tak terbaca. Ketika bibirnya membuka untuk mengatakan sesuatu, tengkukku mendadak bergidik.

“Apakah kau menangis,” suaranya terdengar berat dan terkontrol. “lagi?”

Serta merta aku mengerjab. Mengangkat tangan untuk menyentuh wajah, dan sadar bahwa wajahku basah. Kuasari, mungkin mataku yang menatapnya sayu juga merah.

Aku menghirup napas, yang terdengar tersendat oleh ingus yang mendadak muncul, kemudian menggeleng. “Tidak,” kataku. “Hanya kelilipan parah,” aku berusaha tersenyum, bertepuk tangan pelan. “Kau sangat bagus, seperti biasa,”

Tepuk tanganku berhenti mendadak karena Sora mengangkat tangannya cepat untuk merangkum sebelah tangannya di atas tanganku. “Kenapa,” tanyanya mengabaikan pujianku. “kau selalu menangis?”

Saat itu aku terdiam. Tidak mengatakan apapun dan hanya menyodorkan kebisuan. Sora tidak memaksaku mengatakan apapun karena orang-orang mulai menatap kami yang memang berdiri di tengah plaza. Sebagai gantinya ia menarikku pergi tanpa mengatakan apapun lagi, hingga kami sampai di tempat ini untuk makan malam.

Diam-diam, kulirik Sora yang sedang sibuk menyendok macaroninya. Ia terlihat diam dan tidak berniat mengatakan apapun. Hal yang bagus, karena aku juga mendadak kehilangan keinginan untuk berbicara, setelah pertanyaan menohok itu. Kekhawatiranku terbukti, tentang pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Pertanyan-pertanyaan yang akan mengarahkan pembicaraan kami pada pertanyaannya semalam.

Pertanyaan tentang perasaanku.
Sebab aku tidak siap menjawab. Bukan, aku tidak sanggup menjawab. Aku tidak mampu dan tidak akan bisa menjawab pertanyaan itu. Aku tidak akan bisa menjelaskannya tanpa melibatkan emosi yang hanya akan membawa luka lain. Untukku. Untuknya.

Sudah cukup tragedi beberapa tahun lalu merusak segalanya. Sudah cukup kebodohanku di masa lalu membuatnya dipenuhi rasa benci. Seperti yang telah berulang kali kukatakan, aku tidak ingin membuatnya menjadi semakin membenciku, mengotori hatinya dengan hal-hal tidak berguna seperti ini.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang