terimakasih

64 2 0
                                    

Februari, 2016.

***
Bola orange yang berputar cepat di ujung telunjukku terlihat seperti otakku, kalau-kalau otakku memang bulat dan orange.

Aku sedang berjalan menyusuri jalanan komplek yang lengang menuju lapangan basket kecil di tengah kompleks kami sore itu, dengan pikiran melayang bebas kemana-mana, seperti daun yang pasrah diterbangkan angin musim gugur.

Aku merasa hampir mati bosan setelah bangun dari tidur yang tidak nyenyak disertai mimpi buruk kenangan-kenangan bertahun-tahun lalu siang ini, dan akhirnya memutuskan untuk bermain basket sampai pingsan alih-alih tetap di rumah. Aku tidak terlalu mempedulikan penampilanku atau bahkan aroma apa yang mungkin menguar, dan hanya pergi. Toh sudah beberapa lama lapangan itu seperti mati. Tidak ada lagi yang sesering aku, Sora, dan Shane saat masih kecil dulu menggunakannya. Tidak, hingga aku sendiri yang kembali ke sana, bermain sendiri atau kadang-kadang berdua Shane saat ia sedang senggang.

Saat berangkat, kusadari bahwa sejak bangun aku tidak lagi mendengar alunan piano dari rumah sebelah. Kupikir mungkin Sora sudah berhenti dari beberapa lama. Mungkin usia membawanya untuk tidak menjadi begitu emosian, dengan melampiaskan seluruh energinya untuk berlatih, dari pagi hingga pagi lagi, atau dari malam hingga mentari tenggelam untuk kedua kalinya. Sedikitnya, ada perasaan lega yang menguar menghangatkan hatiku. Setidaknya, dia tidak terlihat serapuh dulu.

Yah, semua orang berubah kan? Shane berubah, meski tidak untuk sikap playboy-nya yang seakan sudah mendarah daging. Begitu pun Sora. Ia terlihat seperti laki-laki sungguhan sekarang, bukan anak laki-laki yang perlu kulindungi lagi. Dia sudah mampu bertahan dengan kedua kakinya, bahkan menjangkau langit dengan kedua tangannya.

Hanya aku yang tidak berubah. Hanya aku, dan perasaanku yang tetap di tempat, membeku menjadi butiran Kristal sejak hujan di pemakaman beberapa tahun lalu.

Aku berhenti di tepi lapangan yang terlihat sekesepian aku, dengan tanda-tanda penuaan yang menyedihkan tanpa bisa ditutupi. Sejenak aku merasa menyatu dengan lapangan ini, yang semennya sudah retak dan pecah di beberapa bagian, sehingga ditumbuhi gerombolan rumput liar; yang cat pada besi ringnya sudah menggelupas hampir diseluruh bagian, menyisakan warna besi berkarat sehitam jelaga; yang tiang-tiang ringnya sudah memiliki decit mengerikan sejak beberapa tahun ini, terutama ketika angin mulai bertiup dengan cukup keras, mempermainkan jaring-jaring ring yang tidak lagi utuh. Keseluruhan penampakan lapangan basket ini terlihat seperti aku. Terutama bagian kesendiriannya.

Setelah meletakan bola basketku hati-hati di pinggir lapangan, aku mulai melakukan perenggangan dan pemanasan dengan berlari memutari lapangan sebanyak tiga kali, kemudian kembali mengambil bola orange itu untuk mendribelnya kesana-kemari. Sudah sejak seminggu lalu aku tak pernah lagi melakukan ini, ketika otakku panas dan hatiku gelisah memikirkan seminar perdanaku. Sekarang ketika aku melakukannya lagi, bukan kulakukan untuk perayaan bahwa semuanya sudah berakhir. Aku bermain karena lagi-lagi, aku ingin mendinginkan otakku yang berasap dan hatiku yang kacau balau.

Tiba-tiba saja, sebuah suara anak perempuan bernada tegas dan berapi-api melintas memasuki ruang dengarku, memenuhi visiku dengan kenangan saat itu.

"Aku akan tetap menundanya, kalau pun itu berarti aku tidak akan bisa main basket dengan kalian bertahun-tahun ke depan,"

Aku berhenti berlari, lalu tanpa sadar aku tersenyum. Ironisnya, apa yang kukatakan waktu itu benar-benar terjadi. Pada akhirnya, kami bertiga memang tidak pernah bermain basket bersama lagi sejak saat itu. Pada akhirnya, kami bertiga menundanya hingga waktu tanpa batas, waktu yang kuyakin tak akan pernah datang lagi.

Aku menarik napas, kemudian melangkah ke pinggir lapangan untuk mengambil bola dan mulai bermain sendiri. Aku berlari-lari kecil di sekitar lapangan yang tidak rata, mendribel-dribel bola sesukanya. Kemudian, aku mencoba memasukan bola dari jarak dekat hingga batas three points, kemudian mendribelnya lagi dan kembali memasukan bola dengan berbagai cara. Aku bahkan berusaha melakukan slam dunk seperti yang biasa dilakukan Shane untuk -terutama -menjerat hati gadis-gadis, meski harus mendulang kegagalan yang agak memalukan karena aku langsung terjerembab bahkan sebelum ujung-ujung jemariku sempat menyentuh pinggiran ring.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang