maafkan aku

74 4 0
                                    

Desember, 2008
***

“Aku tidak melihat Ais dimana pun beberapa hari ini. Kudengar dia sakit,” kata Shane setengah melamun.

Ia sedang tidur-tiduran di salah satu sofa ruang keluarga di rumahku, sementara langit siang menjelang sore terlihat begitu cerah. Sudah dari kemarin hujan berhenti, dan aku mensyukurinya karena well, kau tidak akan mengharapkan air dimana-mana pada hari Minggu, bukan?

Aku juga begitu, karena aku punya rencana bermain basket dengan Shane dan Sora sore ini.

“Dia sakit,” aku mengangguk, membenarkan. Di tanganku seloyang cookies panas yang baru saja keluar dari oven siap dihidangkan. Ibuku baru saja membuatnya, dan itu menyenangkan, mengingat betapa aku menyukai semua cookies cokelat buatannya ini.

"Selamat pesta, perut-perut kecil kita yang lapar,”

“Wah, akhirnya matang,” Shane bersorak, duduk dari posisinya yang bermalas-malasan menjelang sore hari, meraup tiga cookies sekaligus. “Kenapa kita tidak menjenguknya saja? Kau tahu rumahnya kan, Sora?”

Sora, yang tadi diam mendengarkan sesuatu dari headphone-nya hingga sepertinya tidak mendengarkan kami, mengangkat wajah. Dia menatap Shane cukup lama sebelum mengangguk.

“Bodoh!” semburku pada Sora, kesal. Sora menatapku kaget seolah aku baru saja kerasukan jin sinting. Aku membalas tatapan Sora berapi-api sambil berkacak pinggang. “Kalau kau tahu rumahnya, kenapa tidak mengatakannya dari kemarin-kemarin? Setidaknya kita bisa menjenguknya! Kau temannya bukan, sih?”

Tanpa disangka, Shane ikut berdiri di sampingku, menghadap Sora sambil berkacak pinggang.

“Beruang Grizzly ini benar, kenapa kau tidak memberitahu kami? Kau tidak sayang Ais, ya?” kata Shane.

Aku melotot –pada Shane. “Aku bukan beruang Grizzly, dasar Jerapah Purba!” aku menendang kaki Shane hingga ia bertekuk mundur.

“Katakan istilah yang cocok untuk orang yang baru saja menendangku hingga sekarat,” balas Shane sambil mengelus-elus kakinya yang memerah. Ia meringis.

Aku melengos. Di depanku, Sora menarik napas. “Jadi kalian mau ke sana?”

Aku langsung menghadap Sora, mengangguk. Ia mengangkat alis.

“Bagaimana dengan janji basket kita?”

Keningku berkerut. Ide membatalkan janji basket kami yang sudah direncanakan berminggu-minggu lalu dan selalu tertunda, terdengar tidak menyenangkan. Tapi membayangkan Ais yang memang sudah tidak masuk beberapa hari karena sakit jelas tidak akan mengurungkan niatku menunda rencana itu kembali.

Bagaimanapun, dia temanku, dan kami sudah cukup dekat setelah berbulan-bulan bergaul bersama. Dia bahkan lebih dekat lagi dengan Sora karena profesinya. Kalau aku jadi Ais, aku pasti akan sedih jika salah satu dari temanku tidak berkunjung, terutama teman-teman dekatku seperti Sora, Shane, dan Aika.

“Tentu saja harus dibatalkan!” sahutku. “Kita bisa melakukannya kapan-kapan,”

Di belakangku, Shane kembali mendengus.  Sepertinya ia sudah kembali rebah di sofa dengan mulut penuh cookies.

“Padahal kau yang paling menanti-nantikannya,” Shane berhenti sejenak untuk menelan, kemudian melanjutkan. “Kita sudah tidak main dua bulan lebih karena pertandinganku dan kompetisi Sora. Kurasa akan sulit mencari hari lain lagi karena aku juga harus segera latihan untuk kompetisi musim depan, dan Sora juga akan menjalankan menu latihan untuk kompetisi selanjutnya, kan?”

Kurasakan tatapan tajam Shane menembus belakang kepalaku. Ia bisa menjadi sangat serius di saat-saat penting, dan kurasa menurutnya ini adalah salah satu saat-saat penting itu. “Kau yakin akan menundanya?”

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang