kembali

110 3 3
                                    

Februari, 2016.

***

Aku berdiri lunglai di depan pagar rumah yang setengah terbuka. Di atasku, langit sudah berubah gelap beberapa jam lalu. Shane dan Aika baru saja berlalu setelah sebelumnya menemaniku menangis seharian. Sepulangnya dari bandara, Shane tidak langsung membawa kami ke Bandung lewat jalan biasa, alih-alih malah memutar lewat puncak. Dia membawaku ke Lembang, tempat aku bisa melihat hamparan hijau perkebunan teh di bawah sana sambil merasakan angin dingin mempelai pipiku yang basah, mempermainkan rambutku yang acak-acakan.

Aku berteriak kalap di sana, dan Shane dan Aika membiarkanku. Mereka berdiri di belakangku, melihatku dari jauh, tanpa ketara mendukungku tapi tetap memberi ruang bagiku dan sakit yang ingin kulepaskan. Mereka membiarkanku menangis histeris, mengeluarkan semua hal yang ingin kukatakan pada Sora, sebelum akhirnya terduduk lemas untuk kemudian menangis sesengukan sampai lelah. Saat sadar, aku merasakan pelukan hangat membekapku seperti selimut nyaman di subuh yang dingin, dan mengetahui bahwa itu adalah Aika.

Kami pulang setelah menyaksikan matahari tenggelam di ujung cakrawala. Saat itu, aku sudah tenang. Setidaknya, aku berhenti histeris. Meski hatiku masih mengobarkan badai api, tapi setidaknya aku sudah mampu berpikir cukup baik untuk menyadari bahwa aku harus kembali.

Sebelum pulang tadi, Aika berkeras untuk menginap di rumahku, tapi langsung kutolak. Setelah melewati perdebatan yang cukup melelahkan, akhirnya Aika mengalah dan berlalu bersama Shane. Bukan berarti aku tidak menghargai kebaikannya, hanya saja hari ini aku ingin sendiri. Sendiri bersama diriku dan kenanganku tentang Sora, seolah dia masih ada di sini dan tidak pernah pergi.

Dengan tangan terangkat untuk mendorong pintu pagar lebih lebar, aku menoleh ke samping, ke arah rumah besar yang terlihat gelap dan suram, seolah menegaskan bahwa tidak ada siapapun lagi di sana. Rumah yang beberapa hari ini sudah kembali memperlihatkan cahaya, kini kembali kelam. Rumah yang beberapa hari ini mulai terisi kehidupan seperti bertahun-tahun lalu, kini kembali mati. Tidak ada sedikit  pun tanda-tanda kehidupan di sana, persis seperti apa yang kulihat selama beberapa tahun belakangan sejak penghuninya pergi.

Kini pun penghuninya sudah kembali pergi. Dan kemungkinan besar, tidak akan pernah kembali lagi.

Memikirkan hal itu, membuat hatiku kembali meciut. Seperti ada tangan tak terlihat yang menarik dan meremuknya hingga menjadi sangat kecil, dan rasanya sangat sakit hingga membuatku sulit bernapas.

Didorong oleh perasaan itu, aku menarik tanganku kembali, kemudian berjalan kaku menuju rumah itu. Membawa diriku berdiri tepat di depan pintu kembar bercat hitam mengilat itu, dengan tangan terangkat untuk membunyikan bel.

Aku menekannnya, dan sayup-sayup, aku bisa mendengar suara bel itu, persis seperti sebelumnya. Hanya saja tidak seperti sebelumnya, kali ini aku berdiri di bawah gelap.

“Sora…,” aku memanggil dengan suara serak. Mula-mula pelan, sambil terus menekan bel berkali-kali. “Sora… Sora…,” aku terus memanggil, dan intensitasku menekan bel semakin cepat, seolah kesurupan setan bel. 

“Sora… Sora… Sora!! SORA!!” aku berteriak, mulai kalap dan histeris di depan pintu yang masih tidak bergeming dengan dingin. Sama sekali tidak mempedulikanku. “SORA!!”

Dari bel, aku beralih menggedor-gedor pintu. Suara keras gedoranku mungkin akan membangunkan seisi rumah ini, kalau saja mereka ada. Tapi mereka tidak ada, berapa kali pun aku menggedor, atau berapa kali pun aku memanggil. Tidak akan ada yang menyahut, tidak akan ada yang menyalakan lampu, tidak akan ada yang membukakan pintu.

Tidak ada Sora yang akan menyambutku di depan pintu yang terbuka itu.

Tidak ada Sora… Tidak ada Sora… Tidak ada Sora.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang