hujan tengah hari

69 5 0
                                    

Februari, 2016.
***

Aku memandangi langit bersalut magenta di atasku. Merah di bawah putih dan biru. Langit sewarna karat itu tidak membuat perasaanku lebih baik kali ini. Secerah apapun, bagiku, langit tetap berkarat.

Seperti hatiku.

Aku membuka jendela geser kamar, memberiku pemandangan dinding rumah sebelah, dinding yang telah kulihat bertahun-tahun, yang telah kususuri dengan berbagai cara, hingga aku hapal setiap sudutnya, setiap retakan-retakan kecilnya, setiap bagian yang bisa mempermudahku memanjat ke kamar lantai dua, tempat kaca besar geser yang sama seperti punyaku menghadap tepat ke arahku.

Sudah lama jendela itu tidak bergeser, menampakan isi di dalamnya, atau pemiliknya dan segala hal yang dia lakukan di sana. Sudah lama jendela itu tertutup rapat, dengan warna malam melatarinya. Sudah lama rumah itu kosong, kamar itu hampa. Sudah bertahun-tahu ruangan yang dulunya sangat kuhapal di setiap sisi itu tak bertuan.

Hingga hari ini, atau kemarin -entahlah, aku tak sempat bertanya, atau menyimak, saat pemiliknya akhirnya datang.

Dulu, aku selalu membuka jendela ini di malam hari, melempari jendela yang yang berjarak selemparan batu itu dengan kapur atau kerikil yang kukumpulkan di sekolah atau di jalan depan rumah. Lalu jendela itu pun terbuka, dengan sangat pelan seolah takut ada yang mendengar -dan dia memang takut -memperlihatkan sebentuk wajah datar dan dingin, tapi terlihat sangat antusias dengan caranya sendiri.

Sora.

Kami terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam duduk di balkon, mengurai berbagai cerita dalam berbagai cara. Belakangan kami menggunakan papan tulis kecil, agar teriakan kami di malam hari tak terdengar. Kadang kami melakukannya dengan menerbangkan pesawat kertas, yang dengan ahli selalu berhasil sampai ke tempat tujuan tanpa jatuh sekalipun. Walau yang lebih sering mengoceh sebenarnya adalah aku, dan Sora hanya akan mendengarkan atau memberi tanggapan, tapi aku menyukainya. Kami melakukan berbagai hal, seperti berbagi cemilan yang dilempar dengan plastik-plastik kaca, atau berbagi PR, atau hanya memamerkan koleksi kelereng baru yang kudapat setelah melucuti Shane dan anak laki-laki lain.

Tapi semuanya berakhir menjadi kenangan sejak hari itu. Hari yang mulai kusesali sekaligus tidak, kubenci sekaligus kubiarkan seperti apa adanya. Semua itu, hal-hal menyenangkan yang kulakukan bersama Sora, si tetangga sejak masa aku mulai bisa mengingat, memudar menjadi kenangan. Seolah yang kami lakukan hanya berupa kilasan-kilasan mimpi di musim panas.

Sejujurnya, meski ingin, aku tidak pernah benar-benar bisa melupakan Sora. Melupakan anak laki-laki berkacamata dengan mata hitam tak berdasar itu. Melupakan anak laki-laki yang lekuk tajam wajahnya sudah sangat kuhapal itu. Melupakan anak laki-laki yang dibalik sikap dingin, kaku, dan diamnya menyimpan banyak sekali kehangatan, hingga merapuhkannya seperti kaca retak. Melupakan anak laki-laki yang sudah menjadi cinta pertamaku entah sejak kapan, dan tidak pernah ada cinta kedua, ketiga, atau seterusnya lagi sejak itu.

Sora punya terlalu banyak cerita. Dan sampai umur belasan, aku masih menjadi bagian dari cerita itu. Kini, cerita-cerita yang diukirkan berlalu tanpa aku, dan aku sesak ketika memikirkannya. Sora punya masa-masa ceria dalam hidupnya, meski kemudian ada masa-masa kelabu selama bertahun-tahun. Masa-masa kelabu yang membuatnya seperti robot hidup, kemudian masa-masa hitam yang membuatnya seolah baru saja dimatikan tombol on-nya.

Kini, anak laki-laki bermata segelap kedalaman danau musim dingin itu sudah kembali. Kembali, setelah bertahun-tahun tidak. Setelah bertahun-tahun perpisahan yang menyesakan, menyakitkan. Kembali, hanya untuk pergi lagi.

Aku memikirkannya hingga lelah. Hingga magenta berubah kelabu dan senja pun mulai berlalu. Aku memikirkannya, hingga tanpa kusadari kamar tanpa cahaya itu kembali terang, dan kacanya yang selalu tertutup rapat menggeser membuka. Aku memikirkannya, hingga sosoknya menjelma nyata di depanku, di pinggir balkon itu, seolah anak laki-laki berwajah polos bertahun-tahun lalu kembali untuk berdiri di sana, bercengkrama tentang apa saja denganku.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang