kaok gagak

53 3 0
                                    

Februari, 2016.
***

Aku mematut diriku di depan cermin. Kurasa aku sudah terlihat seperti gadis biasa lainnya sekarang. Dengan kemeja longgar, celana jins yang ujungnya kulipat, dan sepatu sneakers yang terasa nyaman membalut kakiku yang masih cedera. Yah, perban Mas Lio yang terbebat erat dan begitu tebal membuatnya terasa lebih empuk dibanding sakit sih, jadi aku merasa baik-baik saja.

"Liiizzz," aku mendengar panggilan Ibu yang berirama ceria sebelum pintu kamarku terbuka, dan menemukan Ibu dalam setelan rumahannya sedang menatapku dengan mata berbinar ceria, seperti biasa. "Sora menunggumu di bawah,"

"Oh," aku mengerling jam dinding, dan menemukan sekarang sudah pukul delapan kurang lima belas. Kami janjian berangkat jam delapan, jadi kurasa dia datang terlalu cepat. Bukan hal yang perlu diperdebatkan juga sih. "Oke, aku akan turun,"

Ibu masih diam di ambang pintu, alih-alih berbalik dan pergi. Beliau mengamatiku cukup lama, dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Rasanya seolah ilmuan yang terlalu ingin tahu sedang menelitiku sebagai organime baru yang belum pernah ditemukan.

"Sebaiknya kau gerai rambutmu," Ibu meletakan ujung telunjuknya di dagu; pose berpikir. "Kau akan terlihat lebih feminine, Sweety,"

Aku memutar bola mata sambil meniup poni. "Bu... plis deh, itu repot,"

Ibu berdecak, kemudian melangkah menghampiriku. Tangannya yang ramping terjulur begitu saja untuk meraih kunciran rambutku, menariknya, kemudian melepasnya. Aku beruntung mendapatkan gen Ibu untuk rambut ini, rambut yang lurus dan halus. Tidak seperti Ayah yang ikal dan tebal. Tapi perpaduan itu dan Mas Lio yang kedapatan gen Ayah terlihat tidak terlalu buruk sih. Mas Lio terlihat cukup bagus (ogah kalau harus bilang cakep dan sesuatu semacam itu, meski tidak salah juga sih) dengan rambut ikal dan tebalnya.

"Bu... panas," aku masih memprotes. Tapi Ibu mengabaikan, meraih sisirku dan merapikannya lagi. Ibu bisa merapikan rambutku dengan kecepatan kilat, dan merapikan poniku sebagai sentuhan terakhirnya.

"Nah, kau terlihat lebih cantik, Sweety," Ibu berjinjit untuk mengecup pipiku, kemudian tersenyum puas. Aku mendesah.
Yah, suka-suka Ibu saja deh.
Setelah memasukan jepit rambutku ke dalam tas selempang kecil tempat aku menaruh dompet dan ponsel, aku segera menyambar tas ransel yang tidak terlalu besar tempat aku menaruh pakaian dan sandal, kemudian bersama Ibu segera keluar. Langkahku masih belum seimbang, tapi Ibu dengan sabar menunggu dan menuntunku untuk turun. Berlebihan sih, karena meski aku berjalan timpang karena cedera, aku jelas tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk berjalan. Tapi aku tidak menolak ketika Ibu membimbingku. Yah, rasanya cukup nyaman.

Aku menemukan Sora duduk di salah satu sofa ruang tengah begitu aku turun tangga. Dia sedang menyesap segelas jus apel dingin yang disediakan Ibu, dan langsung berdiri begitu melihatku turun dipapah Ibu.

"Aku baik-baik saja. Ibu hanya sedikit berlebihan," aku menjelaskan dengan canggung begitu melihat sekilas tatapan khawatir Sora. Ia mengangkat alis ketika aku melepaskan diri dari Ibu dan berjalan mendekatinya. "Mana Shane?"

"Dia tidak datang," kata Sora dengan nada biasa. "Kita akan pergi berdua,"

Mendadak aku menyesal telah melepaskan pegangan Ibu, karena rasanya sekarang aku sangat butuh pegangan saking kagetnya. "HEH?!" aku melotot. "Kenapa?!"

Sora mengangkat bahu, terlihat tidak begitu peduli. "Diare,"

Aku ternganga makin lebar. "Bercanda," Diare? Alasan macam apa itu? "Biar kutelpon dia,"

Sora mengulurkan tangan dengan cepat, mencegahku mengeluarkan ponsel dari tas. Sentuhan ringannya membuat seluruh rambut ditubuhku berdiri. Tapi, alih-alih mundur untuk menghindar, aku hanya bisa membeku.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang