lebih dalam

84 3 0
                                    

Februari, 2016.
***

“Waaaa… hujan!!” aku setengah menjerit saat keluar dari mobil, berusaha untuk tidak terkena cipratan hujan sambil tertawa-tawa.

Jarum jam sedang menunjukan pukul dua belas kurang, dan kami sudah di Bogor. Kota Hujan yang sekarang juga terkena dampak global warming ini sedang diguyur hujan super deras, khas hujan Bogor. Aku cukup sering mengunjungi Bogor, hanya untuk sekedar liburan bersama keluarga atau berakhir pekan bersama teman-teman. Hanya saja, aku tidak pernah pergi berdua Sora. Aku mungkin pernah pergi bersamanya, tapi kami selalu didampingi orang tua, guru, teman-teman, atau hanya sekedar Shane dan Aika. Tapi tidak pernah berdua.

Bukan berarti aku tidak menyukainya.

Hanya saja, ketika kami akhirnya bisa pergi ke tempat ini berdua, kurasa situasinya sedang tidak begitu tepat. Dengan semua kecanggungan dan masalah dan sebagainya.

Sora tidak langsung menuju kediaman Oma-nya yang berada di kawasan Parung. Ia malah memutar mobilnya menuju Jalan Padjajaran, tempat salah satu toko kue terkenal di Bogor berdiri kokoh dalam tudung hujan. Bangunan dua lantai berdesain minimalis itu memiliki papan nama berupa balok-balok besar di bagian atap di lantai dua yang bertuliskan The Harvest.

Sora mengatakan akan membeli kue untuk ulang tahun Oma-nya sebelum ke sana, sekaligus beberapa oleh-oleh yang tidak sempat dibelinya di Bandung tadi. Aku menatapnya dengan mata super bingung mendengar alasan aneh itu (maksudku, ya ampun. Ngapain beli oleh-oleh di Bogor untuk orang Bogor? Sekalian aja pergi ke Sangkuriang atau semacamnya untuk beli bolu talas untuk Oma), tapi tidak mengatakan apa-apa.

Masalahnya, aku terlalu bahagia karena Sora memutuskan untuk berhenti di toko ini, dan bukan toko-toko kue lainnya. Aku benar-benar tidak bisa menahan semangat. Maksudku, aku, si pecinta makanan manis-manis, tentu tidak akan melewatkan mencoba mencicipi sepotong dua potong cake atau cokelat yang ada di sini, meski Sora sudah menyuruhku untuk diam saja di mobil.

“Aku akan membelikan sesuatu yang mungkin kau sukai. Jadi tunggu saja di sini,” itu kata Sora tadi, sebelum kami turun. Saat itu aku bisa melilhat pelataran parkir itu hampir kosong, selain mobil kami, dan sebuah mobil Toyota yaris putih di ujung satunya, dan sebuah Avanza metalik di sebelahnya.

“Aku tidak yakin dengan pilihanmu,” aku menyipitkan mata. “Lagipula, aku tidak mungkin melewatkan cuci mata dan cuci hidung di tempat ini,”

“Cuci… hidung?” Sora menatapku seperti sedang menatap kucing berkepala dua.

Aku mengangguk semangat. “Tidak bisakah kau menciumnya?” aku menutup mata sejenak, hidungku kembang-kempis sementara tanganku mengipas-ngipas kea rah hidung persis seperti chef professional. “Wangi pastry, cake, cokelat. Wah, bahkan aku bisa menciumnya dari jarak sejauh ini,”

“Hidungmu pasti lebih tajam dari anjing,” aku tidak yakin Sora sedang memuji atau meledek, karena ia terdengar seperti keduanya. “Kita sedang berada di ruang kecil yang sepenuhnya tertutup rapat, dan di luar hujan deras,”

Aku mendelik ke arah Sora yang sedang membuka seatbelt-nya, kemudian meraih sesuatu –payung –di lantai kursi penumpang. Ekspresinya datar.

Cih.

“Jangan sebut aku penggemar pastry kalau hal begitu saja tidak bisa,” sahutku, kemudian melanjutkan dengan tidak yakin begitu ia hanya mengeluarkan satu payung mejikuhibiniu yang cukup besar. “Kau hanya punya satu payung?”

“Maniak, tepatnya,” ralat Sora. Ia mengangguk, menatapku dengan alis terangkat, seolah menantang. “Masih mau ikut?”

Aku mengerucutkan bibir, mengangguk kuat-kuat. “Tentu saja! Gempa atau tsunami pun tak akan menghalangiku,”

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang