terluka

46 2 2
                                    

Agustus, 2002.
***

Awan kelam berarak pelan dari ujung cakrawala, menutup warna besi berkarat di langit senja. Aku sering bertanya-tanya, kemana perginya matahari yang tenggelam itu. Apa ia tidur, seperti yang dikatakan buku-buku dongeng, atau benar-benar tenggelam. Karena kalau benar begitu, maka tentu akan mengerikan kalau ia tak akan pernah muncul ke permukaan lagi.

Bukan berarti seseorang tidak pernah menjelaskan versi ilmiahnya padaku, sih. Meski kadang masih belum bisa kumengerti, rasanya Sora sering memberikan jawaban yang terdengar terlalu ilmiah untukku. Belakangan aku agak-agak sadar ia menjelaskan hanya untuk kemudian mengejekku; betapa otakku hanya berisi otot.

Yah, aku akan menendang atau meninju atau melakukan keduanya setelah itu, tentu saja. Termasuk Shane, si anak baru berambut cokelat-emas yang tengil itu.

Tapi, itu dulu. Beberapa bulan lalu, ketika kesedihan belum menutupi senyum Sora seperti mendung menutup matahari.

Aku mendesah, merosot di antara besi-besi pembatas balkon kamarku. Dari sini aku bisa melihat balkon rumah sebelah, balkon yang terhubung dengan kamar Sora.

Tapi jendela balkon yang biasanya sering terbuka lebar itu kini menutup. Rapat-rapat. Meski, masih kulihat rembesan cahaya lampu yang membanjiri balkon yang terlihat dingin itu.

Sekarang, sebagai ganti suara Sora yang biasanya terdengar dalam berbagai ekspresi dan nada di balkon seberang, terdengar suara denting cepat piano membelah langit menjelang malam. Aku tidak pernah tidak menyukai musik yang dibawakan Sora. Sama seperti anggapan orang-orang itu, bagiku, Sora juga jenius. Dia teman jeniusku, dan aku bangga memiliki teman jenius sepertinya. Satu-satunya teman jeniusku. Sahabat jeniusku.

Hanya saja, uraian nada yang terdengar itu terasa begitu dingin dan begitu kaku. Tidak ada lagi nada-nada nakal ceria yang biasanya ia mainkan. Not-not yang keluar dari partitur, tetapi menambah warna dan rasa dari musik itu sudah tidak lagi terdengar, digantikan dengan nada-nada kaku yang meski sempurna, tetap saja seolah tanpa jiwa.

Yah, permainan Sora rasanya benar-benar sudah kehilangan nyawa sejak kematian Tante Melina beberapa bulan lalu.

Aku menatap sedih ke arah balkon kosong itu, yang sekarang dibanjiri sinar merah-kuning-jingga langit senja. Aku ingin bertemu Sora, bercerita banyak hal kepadanya. Kami tidak sekelas lagi tahun ini, jadi aku ingin mendengar lebih banyak cerita darinya, seperti aku ingin bercerita banyak padanya.

Saat menatap balkon kosong itu berubah semakin gelap seiring bergesernya matahari ke peraduan, aku menggertakan gigi. Jemari kecilku yang menggenggam besi hitam pagar pembatas balkon mengerat, seiring otakku memutuskan akan melakukan apa selanjutnya.
Ketika lima menit kemudian aku sudah melesat menuruni tangga, Ibu menyambutku dengan tatapan heran tepat di bawah tangga.

“Liz, kau mau kemana buru-buru begitu?”

“Ke rumah sebelah,” sahutku, berlari melewati Ibu ke pintu depan, kemudian mengambil sandal dan segera mengenakannya. Di belakangku, Ibu menyusul dengan keheranan serupa. Aku menatapnya, meyakinkan. “Sebentar saja. Ada yang mau kukatakan pada Sora,”

Ibu menatapku cukup lama, kemudian menunduk mensejajarkan diri denganku yang terlihat begitu kecil dan pendek di sebelahnya. Cih, padahal aku sudah kelas tiga SD!

“Ibu rasa Sora sedang berlatih sekarang. Ibu dengar dia akan ada kompetisi beberapa minggu lagi,”

“Sebentar saja, kok,” kataku keras kepala. “Boleh ya? Ibu?”

Ibu menghembuskan napas, kemudian tersenyum. Menyerah. Biasanya Ibu sangat keras kepala, sama sepertiku terkadang. Tapi untunglah kali ini Ibu tidak begitu, dan sepertinya akan mengizinkanku pergi. “Baiklah. Tapi jangan lama, oke? Sudah mau magrib loh,”

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang