carut marut

45 2 1
                                    

Februari 2016.

***

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

Pertanyaan Shane tadi pagi terus terngiang-ngiang di telingaku, bahkan saat langit di luar telah sewarna jelaga.

Aku tidak benar-benar bisa tidur sekarang, meski Ibu sudah menyuruhku segera tidur tepat setelah makan malam sekitar satu jam yang lalu. Rasanya mataku terlalu nyalang dan tubuhku terlalu segar untuk dibawa kembali ke alam mimpi. Kurasa efek tidur selama dua puluh empat jam lebih dan makan lebih dari cukup hari ini benar-benar telah membawa tenagaku kembali, bahkan ke level maksimal. Mas Lio bahkan sudah melepas infusku tepat setelah ia kembali tadi sore.

Karena itulah, tidak ada yang bisa kupikirkan selain tragedi lainnya -setidaknya -dalam hidupku malam itu, dan percakapanku dengan Shane dan Aika tadi pagi.

"Aku tidak tahu," sahutku saat itu tanpa benar-benar menatap baik Shane atau pun Aika. "Kurasa tidak ada yang bisa kulakukan lagi sekarang,"

Aku tidak lagi menceritakan kisah penuh luka yang terjadi malam itu hingga membuatku dililiti selang infus begini pada Shane. Dari gelagat dan pertanyaannya, kurasa Aika sudah menceritakannya. Sebenarnya, Shane malah tahu lebih banyak dari itu, mengingat perkataan cerianya beberapa saat lalu, tentang betapa sesungguhnya aku sudah menyukai Sora jauh lebih lama dari waktu yang pernah kusadari.

"Kau benar-benar akan mengakhirinya?" timpal Aika. "Begitu saja?"

Aku menghembuskan napas keras-keras, memilih untuk menyendok buburku dengan suapan besar-besar sebelum menyuap pertanyaan Aika. Atau aku hanya mengulur waktu bahkan menghindarinya. Tapi, siapa yang tidak tahu Aika? Dia keras kepala hingga mampu menungguku menyelesaikan suapan terakhir hanya untuk kembali menanyakan hal yang sama.

"Ya, begitu saja," sahutku, setengah kesal, bukan pada Aika. Aku kesal pada diriku sendiri. Yah, aku sudah kesal dan marah dan bahkan benci pada diriku sendiri sejak lama, ngomong-ngomong. "Sejak di makam waktu itu, aku sudah tahu hubungan kami tidak akan pernah membaik, bahkan waktu pun terbukti tidak bisa memperbaikinya,"

"Waktu akan memperbaikinya,"

"Waktu memutusnya, Ai. Kau tahu bahkan setelah sekian lama, hubungan renggang ini sudah putus. Tidak bisa disambung lagi bagaimanapun caranya, setidaknya tanpa meninggalkan bekas jelek," aku mendengus, mendadak merasa geli. "Kurasa aku sudah mulai ketularan sindrom putismu,"

Dan itu benar. Jawaban yang kuberikan baik pada Shane maupun Aika. Setidaknya tadi pagi, ketika aku memberikan jawaban itu pada mereka.

Tapi kini aku mulai kembali berpikir. Atau setidaknya, ada bagian-bagian nakal dalam diriku yang mempertanyakan hal serupa, berulang kali. Tentang apa yang akan kulakukan, tentang apa aku akan membiarkannya begitu saja. Logikanya, aku sudah memberikan jawaban yang kutahu benar kepastiannya. Tidak ada jawaban yang lebih tepat dari itu, kemanapun aku mencari. Tapi hatiku terus bertanya, dan terus merasa berat. Seakan mengatakan, bahwa ini tidak tepat. Seakan mengatakan, bahwa ini bukan akhirnya.

Dan kini, pertanyaan baru mulai muncul, dalam satu bentuk yang membuat dadaku semakin mengerut.

Tanpa Sora, apa yang akan kulakukan dengan diriku mulai sekarang?

***

"Lizzy, kau mau kemana?"

Aku yang sedang bersiap-siap memasang helm di atas skutermatikku menoleh kaget mendengar suara Ibu mendadak sudah memasuki ruang dengarku.

"Kau mau kemana?" tanya Ibu lagi, kali ini memamerkan pose galaknya kembali di ambang pintu garasi, tempat beliau berdiri sambil mempelototiku. "Kau kan baru sembuh,"

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang