sukai aku

46 3 0
                                    

Januari, 2009.

***

Aku memandangi Sora yang terlihat begitu tersiksa dalam setelan kemeja dan jins hitamnya.

Aku, Shane, dan Aika sedang berdiri di halaman depan rumah Edelweiss yang diselimuti rumput hijau pendek yang terpotong rapi, sementara tiang-tiang besi penyangga tenda hitam berdiri dalam jarak teratur. Sebuah bendera dengan warna senada di kaitkan di salah satu jeruji pagar yang -ironisnya -juga berwarna hitam.

Rumah ini memang sedang dilingkupi awan hitam.

Suasana duka yang menyelimuti rumah ini begitu terasa. Dari luar sini, aku bisa melihat bayang-bayang Ibu Ais yang terduduk lesu bersandar ke dinding, terlihat tidak sanggup menangis lagi. Mau tidak mau aku jadi ingat Ibu, dan bertanya-tanya apa beliau akan terlihat seperti itu jika aku atau Mas Lio tiba-tiba meninggal duluan.

Ais akhirnya berpulang dini hari tadi, setelah koma selama dua hari. Rasanya begitu mendadak, karena kemarin lusa aku masih sempat bicara dengannya, meski ia terlihat begitu lemah. Aku juga sempat melihatnya dan Sora -yang datang setelah aku, Shane, dan Aika -bicara berdua, dengan sangat serius, sebelum aku berbalik pergi meninggalkan mereka.

Aku tidak pernah bicara lagi dengan Sora sejak pertengkaran kami dua atau tiga minggu lalu. Selalu tidak ada kesempatan untukku bicara dengannya, dan dengan perasaan aneh aku merasa, Sora juga sedang menghindariku.

Tapi aku tidak mungkin membiarkannya sendirian di sini, saat ini, dalam kondisi ini. Aku tahu arti kehilangan Ais bagi Sora. Ini seperti mengembalikan lagi kenangan-kenangan menyakitkannya tentang kepergian orang-orang yang paling ia cintai. Ia sudah kehilangan ibunya, lalu ayahnya, dan sekarang cinta pertama yang kuyakin sangat, sangat berarti dalam hidupnya.

Ia sudah terlalu banyak kehilangan, padahal dia masih begitu muda.

"Sora," kataku pelan setelah sampai di depannya, yang duduk di salah satu kursi plastik dekat undakan teras yang disusun berderet-deret menghadap rumah. Setelan hitam yang ia kenakan mempertegas aura duka yang sedang menyelimutinya. Hanya setangkai edelweiss tergolek lemas di pangkuannya yang memberi sedikit warna pada latar belakang hitam itu, membuatku berpikir bahwa dalam cara aneh, Ais juga pernah terlihat seperti edelweiss itu; memberi sedikit warna pada Sora yang gelap dan suram.

Aku tidak yakin Sora mendengar suaraku di tengah gumaman-gumaman pelan pelayat, ditambah suara angin yang semakin keras penanda hujan yang sebentar lagi turun. Tapi setidaknya Sora melihat sosokku yang berdiri di hadapannya, karena dia kemudian mendongak. Aku terkejut melihatnya ternyata tidak menangis. Hanya wajahnya yang terlihat sangat kesakitan, seolah satu lagi bagian tubuhnya ditarik lepas dengan paksa.

"Lizzy," fakta bahwa Sora menyebut nama kecilku, membuatku sedikit lega. Setidaknya ia sudah tidak semarah itu sampai menyebutkan nama depanku dengan lengkap yang selalu terdengar ganjil dan asing.

Aku duduk di samping Sora, yang terlihat begitu lemas dan tak berdaya. Tanpa kentara, dari sudut mata kulihat Shane dan Aika mengikuti, sekursi lebih jauh dariku dan Sora. Aku menghargai mereka yang memberi kami sedikit jarak dan privasi, karena kurasa, kami akan membutuhkan itu. Sora akan membutuhkan itu.

"Dia akan dimakamkan sebentar lagi," kata Sora. Suaranya serak dan bergetar, seolah sedang menahan tangis.

Aku hanya mengangguk. "Kau baik-baik saja?"

"Tidak mungkin aku baik-baik saja," sahut Sora setelah beberapa saat terdiam. Suara yang keluar dari mulutnya terdengar penuh kesakitan, seolah ada ribuan jarum yang sedang ditusuk pelan-pelan pada pita suaranya.

"Kau benar," sahutku, juga setelah beberapa detak jantung. "Tidak mungkin kau baik-baik saja. Tidak mungkin aku, kita semua baik-baik saja,"

Dan aku teringat betapa Ais adalah teman yang sangat menyenangkan karena keceriaannya, karena tawanya yang selalu ada, karena sifat-sifatnya yang meski agak kasar -terutama terhadap Sora -tapi dengan cara yang aneh tetap terlihat cantik. Aku teringat Ais yang dengan bebasnya bermain biola, memainkan nada-nada yang tidak ada di partitur, membuat penonton bersorak kagum dan juri-juri berteriak marah. Aku teringat Ais yang selalu mengekspresikan seluruh -atau mungkin sebagian besar -perasaannya dengan bebas, tanpa terikat apapun. Ia seperti angin, bebas dengan apapun yang ia inginkan dan ia lakukan. Dan seperti angin, ia bebas pergi kemana pun, sejauh apapun.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang